Aku tengah ada di dalam kamar sembari meringkuk di balik selimut. Aku memikirkan setiap teori yang tadi sempat terlintas di otakku. Ini konyol sekali. Jika teori tadi benar, maka kehidupanku akan berubah 360°, dan itu semua akan terjadi karena perjodohan ini. Oh tidak, kumohon teori ini salah. Aku harap teori ini salah besar.
Oh iya, Ibu dan Ayah akan membahas tentang perjodohan pada jam berapa? Inilah yang tidak kuketahui, padahal jika aku tahu tentang hal ini, penyelidikanku akan lebih mudah.
Sepertinya jika aku terus meringkuk diam di sini, aku tidak akan bisa mengetahui tentang perkembangan info perjodohan itu. Ya, aku harus keluar dan membuntuti Ayah atau Ibu ke mana pun mereka pergi supaya aku tidak ketinggalan jejak mereka.
Selepas memikirkan itu, aku segera meloncat dari kasur lalu berlari ke arah luar rumah sambil melayangkan pandanganku ke sekitar untuk mencari Ayah atau Ibu. Bila salah satu dari Ayah atau Ibu sudah aku temukan, maka aku akan membuntutinya. Tidak mungkin mereka akan membahas perjodohan dengan sepihak, pasti mereka membahasnya berdua. Atau ... malah mereka ingin membahas dengan calon besan mereka? Aih, sungguh menggelikan.
Ah, itu Ayah! Karena Ayah yang pertama kutemukan, maka aku akan selalu membuntuti Ayah. Tunggu, ada ide yang lebih bagus. Ya, aku akan coba.
"Halo, Ayah!" seruku menyapa sambil duduk di sampingnya. Ya, ini adalah rencanaku untuk mengawasi Ayah. Dengan cara ini, Ayah mungkin akan sulit untuk bisa pergi membahas masalah perjodohan.
"Hei, anak Ayah datang. Apa kabar?" tanya Ayah sambil menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga.
"Baik, Yah." Aku menjawab dengan senang. Oh iya, aku ingat sesuatu. "Yah, Satirah minta maaf sebanyak-banyaknya. Satirah sadar kalau penyebab utama Ayah merantau itu karena masalah keuangan dan terlilit hutang. Itu juga karena Satirah kukuh minta renovasi kamar." Aku bersimpuh di kaki Ayah sambil meneteskan air mata. Ya, ini mengharukan sampai aku tidak kuat untuk menahan tangis.
"Satirah jangan menyalahkan diri sendiri ya. Toh, Satirah juga belum tau masalah keuangan gitu." Ayah menjawab dengan jawaban yang langsung membuatku lega.
"Ya, Yah. Tapi, Ayah maafin Satirah gak?" desakku.
"Iya, Ayah maafkan kok." Ayah tersenyum hangat.
"Makasih Ayah," balasku sambil bangkit dari bersimpuh lalu memeluk Ayah yang langsung dibalas dengan pelukan pula oleh Ayah.
Belum selesai aku menikmati pertemuan ini, tiba-tiba ....
"Satirah! Satirah!" Lagi-lagi ada yang mengacaukan.
Aku berbalik dan mendapati bahwa yang memanggilku adalah teman-temanku. Ada Mohrah, Tijah, Kifid, dan Noya. Mereka mengacaukan.