Tahu-tahu Jodoh

anonymous pout
Chapter #16

Kue Tetel

Ayah dan Ibu sudah pulang dan kini mereka masih sibuk sendiri-sendiri. Ayah bercengkerama dengan tetangga, sedangkan Ibu sedang sibuk mencuci pakaian di dekat sumur. Aku masih penasaran tentang hak yang tadi, tapi aku bingung hendak bertanya dari mananya. Huft, aku berada di posisi yang tidak mengenakkan. 

Sementara itu, sepertinya Mohrah belum tahu menahu soal ini. Mungkin karena ia baru saja diberitahu oleh Ibunya, jadi ia belum terlalu pusing memikirkan hal itu. Sedangkan aku, meski belum diberitahu, aku sudah berusaha mencari tahu sampai-sampai sudah membuat teori konyol yang belum tentu benar. Tidak, semoga teori ini salah. 

Untuk membuktikan apakah teori ini benar atau salah, maka aku harus bertanya langsung pada yang bersangkutan. Ya, seharusnya aku tidak diam saja seperti ini. Aku akan segera menanyakan ini dengan serius dan jangan sampai ada yang menggangguku saat aku sedang sibuk tentang persoalan ini. Jika ada yang menganggu, pastinya semuanya akan gagal dan kacau. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Aku meyakinkan diri lalu memberanikan diri untuk menghampiri Ibu. Ya, seharusnya ini yang kulakukan, bukan malah diam membisu sambil memendam berbagai pertanyaan yang mungkin akan membuatku ... gila.

Aku melayangkan pandangan ke arah latar rumah yang tidak berlantai. Tepatnya aku menatap ke arah sumur. Terakhir kali aku melihat Ibu sedang mencuci pakaian di dekat sumur, tapi sekarang Ibu tidak ada di sana.

Aku melirik ke arah langgar dan mendapati bahwa Ayah masih bercengkerama dengan tetangga-tetangga. Ini artinya, aku tidak bisa menanyakan pada Ayah. 

Oh iya, aku ingat sesuatu. Biasanya setelah mencuci pakaian, Ibu tidak langsung menjemurnya. Biasanya, Ibu masih memompa air untuk mengisi kamar mandi karena di daerah kami yang tergolong pedalaman ini masih menggunakan cara manual untuk mendapat air. Ya, aku akan menghampiri Ibu.

Aku berjalan agak cepat menuju tempat yang sekiranya ada Ibu di sana. Aku harap dugaanku benar. 

Ya, aku benar. Sekarang Ibu sudah tertangkap pandanganku. Tenang Satirah, kamu harus tenang dan bertanya dengan tutur kata lembut, jangan sampai Ibu curiga jika aku akan menentang perjodohan ini kalau memang benar aku yang akan dijodohkan. 

"Bu," sapaku sambil tersenyum pada Ibu yang juga langsung dibalas senyuman dengan Ibu.

"Ada apa, Nak?" tanya Ibu sambil terus memompa air, lengkap dengan keringatnya yang sudah menetes entah keberapa kalinya. Kasihan Ibu.

"Aku mau tanya boleh?" tanyaku basa-basi. Tunggu, muka Ibu sepertinya berubah. Ada apa ini? Apakah Ibu ingin menyembunyikan sesuatu?

"Kenapa wajah Ibu jadi berubah gitu?" tanyaku heran.

"Eng-nggak apa-apa kok, Rah. Mau ... tanya apa?" sahut Ibu sambil berusaha mengembalikan wajah cerianya seperti semula.

Aku menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Begini Bu—" Belum selesai aku berbicara, ada seseorang yang lagi-lagi menyela kata-kataku. Orang itu adalah ... Bibi Ruroh. Andai Bibi Ruroh tahu perasaanku sekarang bagaimana, pasti ia sudah jauh-jauh dariku dan tidak akan pernah mengulangi kesalahannya menyela omongan orang lain. 

"Katanya kita mau bantu-bantu di rumah Mohrah," ucap Bibi Ruroh. Ha? Ada apa di rumah Mohrah?

"Di rumah Mohrah ada apa, Bi?" tanyaku antusias. Anehnya, Bibi Ruroh dan Ibu malah saling berpandangan dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Di rumah Mohrah ada acara," jawab Ibu dengan cepat.

"Acara apa?" tanyaku lagi.

"Acara ... arak-arakan pengantin Bibinya Mohrah." Lagi-lagi Ibu menjawab cepat setelah sebelumnya sempat gelagapan bingung.

"Bibinya Mohrah?" tanyaku heran. Karena setahuku, Mohrah hanya punya satu Bibi yang itupun juga sudah menikah.

"Iya ... ya sudah, Satirah saja yang ikut bantu-bantu di sana, aku masih repot ini." Ibu menyerahkanku pada Bibi Ruroh agar aku ikut ke rumah Mohrah.

"Iya deh, kita duluan ya!" seru Bibi Ruroh pada Ibu sambil melambaikan tangan. "Ayo," ajaknya padaku. Aku hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

Lihat selengkapnya