Sudah seminggu ini aku hanya diam di rumah. Sebenarnya aku ingin sekali main di luar dengan teman-teman lain, tapi seminggu ini aku mengalami datang bulan sehingga tak jarang perutku sakit dan mengharuskan aku untuk diam di rumah. Sementara itu, tugasku di rumah hanya menyapu dan sesekali membantu Ibu mencuci baju. Ini sangat membosankan.
Mendengar jika aku hanya diam di rumah, teman-temanku ternyata tidak tinggal diam. Aku tidak pernah menyangka jika mereka akan bertindak meski aku absen main sehari saja. Bayangkan saja, mereka rajin sekali ke rumahku hanya untuk memanggilku dan menanyakan apakah aku sudah bisa bermain hari ini. Ah, teman-teman yang baik.
Tapi untuk hari ini, aku pasti tidak akan mengecewakan teman-temanku. Aku pastikan mereka tidak pergi dari rumahku dengan tangan kosong karena hari ini aku sudah bisa main. Ya, aku sudah bersih dari haid dan bisa kembali main di luar tanpa ada hambatan sakit perut.
Oke, jadi sekarang waktunya menunggu teman-teman datang menjemputku. Karena tempat main kami akhir-akhir ini sering berpindah-pindah, maka aku tak mau kebingungan mencari mereka seorang diri, lebih baik aku menunggu saja. Jika ada yang simpel, mengapa cari yang susah kan? Haha, tak usah dibawa ke hati ucapanku tadi, aku hanya bercanda dan tidak bermaksud memanfaatkan teman-teman kok.
"Satirah!" panggil Ibu dengan sedikit berteriak dari arah dapur.
"Iya, Bu!" sahutku sambil beranjak dari tempat dan berjalan menuju dapur untuk menemui Ibu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku setelah sampai di dapur.
"Bisa bantu Ibu sebentar?" sahut Ibu. Aku mengangguk pelan lalu mendekatinya.
"Bantu apa, Bu?" tanyaku.
"Antar ini ke rumah Mohrah," jawab Ibu sambil menyerahkan rantang padaku. Dan perintah ini malah membuat jantungku berdetak cepat tak keruan.
Aduh, aku jadi bingung. Jika aku menyanggupi perintah Ibu, aku pasti akan bertemu Mohrah. Tapi jika tidak, Ibu pasti akan curiga. Argh! Lagi-lagi aku dalam posisi yang tidak enak.
"Rah, ayo berangkat sana." Ibu menyenggol bahuku dengan sengaja agar aku kembali fokus. Nyatanya, itu malah membuatku kaget.
"Ibu ngagetin aja," protesku.
"Makanya fokus, Rah. Ngelamun apa sih?" tanya Ibu dengan nada menggoda.
"Gak ... gak ngelamunin apa-apa kok," jawabku terbata-bata.
"Yang benar?" sahut Ibu menggoda.
"Iya," jawabku meyakinkan. Ibu hanya mengangguk percaya lalu keluar dapur, entah hendak ke mana.
Aku sendirian di dapur dengan masih memegang rantang makanan. Wah, rasa-rasanya Ibu memang sengaja menyuruhku dengan alasan tertentu. Jika begini, aku merasa terpojokkan. Lagipula siapa sih pengusul ide perjodohan yang sangat merugikan aku ini, ingin aku balas habis-habisan.
"Rah, kok masih diam di sana?" celetuk Ibu. Aku menoleh dan mendapati bahwa Ibu sedang mengintipku dari ambang pintu dapur.
"Ibu ngintip Satirah, ya?" tanyaku curiga.
"Ya gak lah, Rah. Tadi Ibu cuma kebetulan lewat dan lihat kamu masih diam di situ. Makanya Ibu tanya," jelas Ibu. "Ya udah, sana antar dulu makanannya," lanjutnya.