Tugasku pagi ini sudah beres. Jadi, sekarang saatnya aku pulang dan ikut bersiap-siap untuk acara pernikahan Kak Sarinah dan Kak Mura. Rasanya tidak sabar melihat mereka berdua yang biasanya bertingkah kekanak-kanakan naik ke pelaminan bersama dengan pasangan masing-masing. Aku ada ide yang sangat bagus, aku akan menjahili mereka berdua untuk yang terkahir kali. Ide bagus, bukan? Hahaha.
Aku berjalan lebih bersemangat lagi. Aku harus secepatnya sampai rumah agar bisa bersiap-siap lebih cepat lalu menjahili Kak Sarinah dan Kak Mura sebelum mereka naik ke pelaminan. Oke, aku harus cepat dan tak boleh telat. Jika sampai telat ... Argh! Menyebalkan sekali.
"Satirah!" panggil seseorang dari arah belakang. Jika didengar dari suaranya, itu sepertinya suara Tijah.
"Eh, ada Tijah. Ada apa, Jah?" tanyaku basa-basi.
"Gak ada apa-apa, sih. Aku cuma mau ke rumah kamu." Tijah menjelaskan.
"Lho, gak bareng sama Ibumu?" tanyaku lagi.
"Gak, Rah. Aku berangkat duluan ini karena mau main sebentar sama kamu, itu pun kalau gak repot." Tijah tertawa kecil.
"Boleh, Tijah. Aku paling nanti cuma mau siap-siap sama ke Kak Sarinah dan Kak Mura sebentar." Aku menjelaskan.
"Kamu ... kenapa ke Kak Sarinah sama Kak Mura? Aku tebak ... pasti kamu mau jahil ke mereka." Tangan Tijah tepat melayang ke hidungku.
"Iya lah, Jah. Kalau masih bisa jahil ke mereka, kenapa tidak?" Tawaku lepas seketika setelah menyelesaikan kata-kata itu.
"Aku itu sudah tau pasti tentang isi pikiran kamu kalau nyambungnya ke kakak-kakak mu itu," ujar Tijah dengan nada sok tahu. Karena ini cukup menghibur, tawaku meledak lagi. Hal yang sama juga terjadi pada Tijah, ia juga tertawa lepas.
"Ya sudah, Jah. Ayo ke rumahku." Aku menggandeng tangan Tijah lalu membawanya untuk ke rumahku.
Lagi-lagi di sepanjang perjalanan, kami masih saja saling lempar bahan bercanda yang langsung membuat tawa lepas seketika. Sebenarnya yang kami buat candaan hanya hal-hal sederhana, tapi entah kenapa rasanya sangat lucu sehingga membuat tawa tak bisa berhenti.
Satu-persatu teman lain datang dan bergabung denganku dan Tijah. Ada Noya, Mirai, dan Kifid. Rasanya seru sekali, untuk pagi ini pasti rumahku ramai oleh mereka.
Canda tawa juga tak berhenti dan masih tetap berlanjut.
Terkadang aku berpikir tentang bagaimana jika kita semua sudah menua, memiliki hidup masing-masing, dan sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Sebenarnya aku tak sanggup jika memikirkan hal sejauh itu, memikirkan masa depan yang akan memisahkan kita, tapi entah kenapa sering sekali bayangan pikiran itu muncul dan mengusik sehingga mau tak mau terpikir olehku. Menyebalkan memang.
"Kalian di sini dulu, ya." Aku mempersilakan Tijah dan yang lain untuk duduk di kursi tamu undangan yang sudah tertata rapi. "Aku ke dalam dulu sebentar," lanjutku pamit.
"Oke, jangan lama-lama." Noya menyahut. Aku hanya mengacungkan jempol sebagai isyarat.