Acara pernikahan Kak Sarinah dan Kak Mura telah usai. Semuanya berjalan lancar tanpa hambatan. Tamu yang datang pun banyak, baik tetangga maupun pejabat daerah. Memang keluargaku tidak kaya dan tidak berpengaruh pada pemerintahan daerah, tapi Kakek dan Ayah memiliki cukup banyak kenalan dari kalangan pejabat. Jadi, mereka datang pada acara penting ini. Memang heran jika orang biasa seperti Kakek dan Ayah punya kenalan orang penting, tapi itulah kenyataannya.
Soal hidangan pun juga tak main-main. Setahuku, Ayah menyembelih satu ekor sapi dan satu ekor kambing dari kepala desa untuk diolah menjadi makanan soto madura. Soto khas madura ini diolah dengan dibubuhi bumbu yang pas oleh Ibu dan yang lain sehingga rasanya tak main-main. Dan kelihatannya semua tamu undangan merasa puas dengan hidangan dan suguhan acara ini. Alhamdulillah.
Satu lagi, ternyata aku dan seluruh anggota keluarga lain memakai pakaian yang seragam. Ya, seragam berwarna hijau itu. Seragam yang cantik, tapi malah mengingatkanku pada mimpi itu. Sudahlah tak perlu dibahas lagi, aku sudah muak memikirkannya.
"Rah, minta tolong ambilkan sikat gigi Kakak di kamar mandi!" teriak Kak Sarinah dari dalam kamar.
"Iya!" sahutku dengan sedikit berteriak juga.
Aku berjalan menuju kamar mandi. Sebelumnya aku sedang ada di emperan rumah sambil membersihkan gelas-gelas air mineral yang sudah kosong. Jadi, berhubung aku disuruh ke kamar mandi, aku akan keluar bangunan rumah untuk sampai di kamar mandi. Tapi sebuah lirikan mata mengubah. Saat aku melirik ke arah luar rumah, aku melihat ada Mohrah yang sedang membawa kursi kayu dengan gerobak, mungkin ia akan mengantarnya ke rumah pemesan. Dia sangat pekerja keras, aku salut. Tidak-tidak, aku tidak mungkin suka dengan Mohrah. Toh, Mohrah mungkin juga tidak suka padaku.
Untuk menghilangkan bayangan Mohrah, aku mempercepat langkah menuju kamar mandi lalu mengambil sikat gigi Kak Sarinah dan memberikan sikat gigi itu padanya.
"Ini, Kak." Aku menyerahkan sikat gigi itu padanya.
"Makasih, Rah." Kak Sarinah tersenyum lalu memasukkan sikat gigi itu ke dalam tasnya. Eh, ada apa ini? Apa Kak Sarinah akan pindah secepat ini?
"Loh, Kakak mau ke mana?" tanyaku heran.
"Kakak mau pindah, Rah. Kakak harus ikut suami Kakak." Kak Sarinah menjawab sambil terus beres-beres barang lain yang sudah ia keluarkan dari lemari dengan jumlah yang lumayan banyak.
"Terus aku mau sama siapa?" tanyaku kecewa.
"Sendirian, lah. Katanya tadi enak kalau gak ada Kakak, makanya sekarang Kakak pergi." Kak Sarinah menyahut seenaknya.
"Tadi aku cuma bercanda, Kak. Ih, malah dianggap serius." Aku merengek pelan.
"Iya, Rah. Lagipula Kakak juga bercanda, kok." Kak Sarinah tertawa kecil. Bisa-bisanya dia tertawa disaat aku lagi sedih begini hendak ditinggal olehnya.
"Bercanda ... maksudnya?" tanyaku bingung.
"Kakak pindah bukan karena kamu, Rah. Kakak pindah itu karena memang sudah wajib ikut suami Kakak," jelas Kak Sarinah.
"Nanti kalau aku kangen gimana?" celetukku sambil menahan isak tangis.