Aku sedang duduk di pinggir langgar sambil merenungkan beberapa hal yang sempat mengusik diriku akhir-akhir ini. Biasa lah, rutinitas sore hari selalu saja begini. Jika tak ada teman main, aku selalu merenung di sini. Bahkan, orang-orang di sekitarku sampai menganggap kebiasaanku ini aneh. Ada-ada saja mereka itu.
Sudah sebulan ini rumah yang aku singgahi ini sepi. Sepi dari kakak-kakak yang biasanya selalu mengganggu dan menggodaku, tapi justru itulah yang membuat hari-hari ku berwarna. Juga sepi dari Ayah yang biasanya tawanya melunturkan rasa sedih. Aku rindu mereka bertiga, aku rindu Kak Sarinah, rindu Kak Mura, dan pastinya juga rindu Ayah. Kapan mereka akan pulang ke sini lagi, ya?
"Ning, Ibumu ada?" tanya Bibi Rafiqah, orang kaya yang rumahnya berada dekat dengan rumahku. Penasaran, ada keperluan apa ia ke sini?
Aku menghampirinya lalu bertanya, "Ada keperluan apa, Bi?"
"Ibumu mana dulu?" desaknya. Aih, sepertinya dia tidak berniat menjawab pertanyaanku.
"Ada di dalam," jawabku dengan nada kesal sambil menunjuk ke arah ruang tamu rumahku.
"Bibi masuk dulu, mau cari Ibumu." Tanpa menunggu balasan dariku, Bibi Rafiqah langsung nyelonong masuk ke rumahku. Aku yakin ini ada yang penting, dan ... aku penasaran.
Karena penasaran, aku segera beranjak dari tempatku dan hendak mengejar Bibi Rafiqah hanya untuk sekedar ingin tahu. Tapi tiba-tiba ....
"Satirah." Seseorang mencekal tanganku lalu menarikku. Sontak saja aku koar-koar dibuatnya. Setelah aku toleh ternyata oknum menyebalkan itu adalah Noya dan Mirai.
"Kalian mau apa, sih?" tanyaku dengan nada kesal sambil mengelus tanganku yang sakit karena dicekal dan ditarik oleh mereka tadi.
"Ayo kita ke rumah Tijah," ucap Noya cepat.
Aku yang masih bingung segera bertanya, "Loh, memangnya ada apa di rumah Tijah?"
"Ayo lah ikut dulu." Mirai menarik tanganku lagi yang langsung aku hempas begitu saja.
"Ada apa di rumah Tijah, Rai?" tanyaku mendesak.
"Nanti kamu lihat sendiri, Rah. Kita gak bisa jelasin sekarang." Kini giliran Noya yang menarik tanganku. Menyebalkan sekali mereka.
"Ck, ya udah ayo." Karena badan Noya bisa dibilang gemuk, jadi aku terpaksa menyerah karena aku tak bakal bisa menang olehnya, apalagi soal tarik-menarik.
Dengan semangat membara, Noya dan Mirai menarik tanganku dan membawaku menuju rumah Tijah.
Tunggu, aku melupakan sesuatu. Aku telah melupakan rencanaku menguntit Bibi Rafiqah dan mendengar pembicaraannya dengan Ibu. Padahal aku sudah penasaran sekali, tapi malah digagalkan oleh oknum-oknum ini.
Oh iya, aku teringat sesuatu lagi. "Teman-teman, Kifid gak diajak?" tanyaku.
"Sudah di sana, Rah. Malahan Kifid dan Mohrah yang tau lebih dulu." Mirai menjelaskan.
Aku terpaku dan terkejut saat mendengar nama Mohrah disebut oleh Mirai. Itu artinya aku akan bertemu dengannya di rumah Mohrah. Dengan bertemunya aku dan Mohrah, aku malah merasa semakin kesal dan rasa ingin membatalkan perjodohan semakin menggebu-gebu.
Sebentar, aku teringat kata-kata Kak Sarinah. Kak Sarinah pernah bilang bahwa menumbuhkan cinta jauh lebih baik dibandingkan mempertahankan kebencian. Tapi jika dikasusku ini bagaimana?
Sebenarnya aku sudah beberapa kali merenungkan hal yang sama. Merenungkan topik yang untuk saat ini belum jelas buntutnya. Ya, tentunya aku memikirkan perjodohan. Dan ... entahlah, semua terasa membingungkan dan menyebalkan.
"Rah, kok diam aja?" celetuk Noya yang ketika itu juga langsung membuyarkan lamunanku.
"Eh iya, teman-teman. Ada apa?" sahutku cepat.
"Kamu ini ngapain, Rah? Aneh sekali tingkahmu." Mirai tertawa kecil. Sedangkan aku yang bahan tertawaan malah dengan santainya menggaruk tengkuk yang tak gatal.