Tahu-tahu Jodoh

anonymous pout
Chapter #24

Maaf, Ayah

Sekarang aku masih bersama Mohrah. Sudah sekitar 10 menit kami berkeliling desa tanpa tujuan hanya untuk membahas kertas yang disebar itu. Memang aneh, tapi jika membahas itu dengan diam saja, maka akan terasa lebih aneh. Menurut kami, membahas sesuatu sambil bergerak lebih efektif karena akan lebih cepat bertindak jika terjadi sesuatu nantinya.

"Moh, apa kamu yakin jika kertas itu adalah kertas undangan pernikahan kita?" Aku menyeletuk bertanya karena jujur aku memang masih belum sepenuhnya yakin.

"Iya," jawab Mohrah.

"Kalau tidak?" sahutku lagi.

"Aku yakin, Rah." Mohrah menjawab mantap.

"Kok kamu bisa yakin sekali?" Aku menatapnya heran.

Mohrah menghadapku. "Aku yakin sekali, Rah. Kemarin aku sempat dengar pembicaraan ibuku dengan ayahku, mereka bilang kalau kita akan dinikahkan secepatnya."

"Secepatnya belum tentu besok atau lusa, kan?" protesku.

"Aku tak tahu pasti, ya. Yang aku tau hanya orang tuaku bilang begitu, Rah. Sesekali mereka juga membawa-bawa nama ayahmu yang ternyata setiap hari berkabar dengan ibumu lewat telepon rumah Bu Rafiqah." Mohrah menjelaskan.

Aku tercengang saat mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Mohrah. Bagaimana tidak? Ternyata tujuan Bu Rafiqah ke rumah tadi karena ada telepon mendadak dari Ayah yang tentunya bersifat penting dan mendadak. 

Oh tidak, ini artinya aku akan resmi menjadi istri Mohrah dalam waktu dekat ini.

Nyatanya selama ini usahaku sia-sia, mulai dari selalu bermuka murung sampai berusaha menampakkan rasa tidak suka pada Mohrah pun masih tidak mempan untuk membatalkan perjodohan ini. 

"Tapi jika memang itu undangan pernikahan kita, pasti pelaksanaannya bukan besok atau lusa." Aku yang tetap kukuh terus memprotes.

Mohrah mendengus pelan. "Iya juga, sih. Tapi pasti setelah semua persiapan matang, kita akan dinikahkan."

"Tapi setidaknya selama persiapan belum matang, kita bisa melakukan berbagai hal yang mungkin akan bisa membuat orang tua kita batal menjodohkan kita." Aku menjelaskan pelan-pelan.

"Boleh juga idemu, Rah." Mohrah mengangguk setuju.

"Kamu juga gak mau dijodohin?" tanyaku tak percaya.

"Jelas gak mau, dong. Aku itu ingin belajar di pesantren seperti kakak sepupuku, malah keburu dijodohin. Lagipula jika tidak pakai acara perjodohan pun kita akan bisa menemukan jodoh masing-masing, kan?" Mohrah meminta pendapat.

"Iya lah, Moh. Toh Allah juga sudah mengatur jodoh untuk semua orang, jadi seharusnya tak perlu begini." Aku ikut bersuara.

Kami terus berjalan tanpa tujuan. Desa yang kami tempati adalah Desa yang luas, desa yang juga menjadi saksi bisu atas banyaknya perjodohan yang terjadi di sini. Ya, sepertinya di desa ini persoalan jodoh-menjodohkan sudah seperti jadi tradisi. Dan, aku salah satu korbannya. 

Kata orang-orang, perjodohan ini dilakukan agar warga yang punya anak laki-laki, anaknya segera dapat pasangan karena di desa ini jumlah perempuan jauh lebih banyak dibanding jumlah laki-laki. Jadi, mereka tak ingin anaknya tidak mendapat jodoh hingga harus menjomblo seumur hidup.

"Rah, ada kertas itu!" seru Mohrah sambil menunjuk ke arah kertas yang tergeletak di depan salah satu rumah. 

"Ayo di ambil, Moh. Siapa tau itu undangan kita." Aku berlari menuju arah kertas itu lalu secepat kilat mengambilnya.

"Baca, Rah." Mohrah menatap dengan antusias. 

Aku mengangguk. "Aku baca ya," ucapku lalu mulai membuka undangan itu perlahan.

Lihat selengkapnya