5 hari yang lalu terjadi perselisihan antara aku, Ayah, dan Ibu. Permasalahannya sepele, aku hanya ingin tahu perihal apapun yang nantinya akan terjadi padaku yang sebelumnya telah direncanakan Ayah atau Ibu, tapi mereka malah tak mau aku tahu sedikit pun tentang itu. Satu kata di benakku, aneh.
Tapi kini hubunganku dengan Ayah dan Ibu sudah lebih membaik. Kami sudah mulai saling bertegur sapa dan membantu satu sama lain setelah kemarin-kemarin lagak kami seperti orang yang tak saling mengenal.
"Aduh!" pekikku kaget saat menyadari bahwa jariku tersayat pisau saat memotong kentang dan membuatnya mengeluarkan darah segar.
"Kenapa, Ning?" tanya Bibi Marinti yang langsung menghampiriku dan melihat lukaku.
"Tadi kena pisau, Bi. Tapi gak apa-apa, gak sakit." Aku meniup pelan luka di tanganku yang masih dialiri cairan kental berwarna merah segar.
"Tapi itu berdarah, Ning. Bibi ambilkan obat dulu, ya. Bibi Marinti pergi entah ke mana, tapi pasti ia sedang mencari obat untuk lukaku ini. Baiklah, aku tunggu saja.
Sambil menunggu, aku iseng berjalan keluar rumah lalu duduk di amben latar rumah sambil menatap orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Ya, mereka bekerja di rumahku. Ada yang memasang tenda, mendirikan pelaminan, menurunkan meja dari truk, dan masih banyak lagi.
Pasti kalian sudah dapat menebak tentang siapa yang akan menikah kali ini. Betul, diriku lah yang akan menikah kali ini. Kecewa sekali mendengar hal ini, tapi aku tak bisa apa-apa dan hanya bisa diam menerima demi Ayah dan Ibu.
Tentang Mohrah, ia juga merasakan hal yang sama. Ia juga terpaksa menerima perjodohan ini demi orang tua.
Memang meresahkan sekali.
Satu lagi, kami akan menikah besok. Padahal aku belum siap apa-apa, apalagi rasa cinta yang harusnya ada sebelum pernikahan dilaksanakan. Ide perjodohan ini sangat konyol.
"Rah, ayo diobati!" panggil Bibi Marinti dari dalam.
Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati bahwa Bibi Marinti sudah datang dengan membawa kapas, daun sirih, dan kain pembalut luka.
Aku meringis menahan perih saat tanganku diobati. Sesekali juga meringis karena teringat akan hari esok di mana hari itu aku akan menikah dengan Mohrah.
"Sudah, Ning. Masih sakit, gak?" tanya Bibi Marinti setelah selesai menambal lukaku dengan kain pembalut luka.
"Sudah mendingan, Bi. Makasih, ya." Aku tersenyum pada Bibi Marinti yang langsung dibalas anggukan olehnya.
Bibi Marinti kembali ke tempatnya semula dan mulai melanjutkan pekerjaanya membersihkan beras ketan dari kutu. Sementara aku, hendak melanjutkan memotong kentang saja masih teringat pernikahan, takutnya nanti malah tidak fokus.
"Rah, kentang sudah dipotong?" tanya Ibu dari dapur.
"B-belum, Bu. Sebentar lagi selesai." Aku menjawab seadanya.