Aku pikir kehidupanku setelah menikah akan membosankan. Tapi nyatanya tak seperti yang aku kira. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasanya, hanya saja ditambahi dengan sedikit kesibukan rumah tangga. Aku hanya perlu memasak dan beres-beres rumah sebelum akhirnya Mohrah pulang dari kerja.
Sekarang Mohrah bekerja sebagai perancang arsitektur rumah di dekat-dekat sini. Jadi, jika ada warga baru yang ingin membangun rumah di sini, Mohrah akan menawarkan jasa untuk merancangkan rumah. Pekerjaannya cukup menarik, begitu pun hasil kerjanya sangat bagus. Mohrah dapat merancang Mohrah dengan baik sehingga uang yang didapatnya juga sebanding dengan hasil kerjanya.
Meski kedengarannya tak ada apa-apa, justru malah ada yang aneh dari pernikahanku dengan Mohrah. Selama 2 minggu kami menikah ini, kami hanya berbicara sewajarnya saja dan tidak lebih dari itu, bahkan mungkin sehari bisa hanya melontarkan kurang dari 25 kata. Hubungan kami persis seperti es, dingin.
Tapi, akhir-akhir ini sepertinya ada yang aneh denganku. Aku merasa ada sesuatu yang kurasakan saat dekat dengan Mohrah. Apa jangan-jangan ....
Drsss!
"Oh iya, sayur bayamnya!" pekikku kaget.
Aku beranjak dari dudukku lalu berlari menuju dapur. Sesampainya di dapur, aku mendapati bahwa sayur bayam yang aku masak gosong dan airnya pun sudah susut.
"Bisa repot nih kalo makanannya kebuang semua. Mana aku beli bahan makanan cuma buat hari ini aja." Aku menggerutu sebal sambil memungut bayam-bayam basah yang jatuh untuk kubuang nantinya.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar setelah sebelumnya mengetuk pintu. Kukenali itu sebagai suara Mohrah.
"Mohrah udah datang, harus gimana nih?" gumamku kebingungan.
"Rah," panggil Mohrah lagi.
"Eh iya, Moh. Waalaikum salam!" jawabku lalu berlari kecil keluar untuk membukakan pintu.
Cklek!
"Waalaikumsalam." Aku mengulangi salam lalu menyalami tangan Mohrah.
Mohrah langsung duduk di kursi ruang depan. Sementara aku ke dapur untuk mengambil kopi yang sudah aku racik untuk Mohrah.
"Ini, Moh." Aku menyerahkan segelas kopi hitam pada Mohrah yang langsung ia seruput hingga tersisa separuh gelas.
Tunggu, aku teringat bayam yang berceceran. "Bentar, aku mau beresin masakan dulu." Aku berdiri hendak pergi.
"Sebentar, Rah." Mohrah mencekal tanganku yang mau tak mau harus membuatku menoleh padanya.