Tahu-tahu Jodoh

anonymous pout
Chapter #27

Flashback By Kak Mura

Sampang, 5 Februari 2000

Tahun demi tahun terasa begitu cepat berjalan. Desaku ini sudah banyak mengalami perubahan. Tidak hanya itu, kebanyakan jalan raya di Madura ini juga sudah diaspal. Setiap daerah juga diberi fasilitas yang memadai bagi penduduknya. Pokoknya, Madura sekarang sudah banyak kemajuan.

Bicara tentang perkembangan dan kemajuan, juga ada yang lebih penting lagi. Keluarga kecilku dan keluarga besarku. Ya, ikatan kekeluargaan juga mengalami perkembangan menjadi jauh lebih baik lagi. Kita sekeluarga yang dahulu sempat memiliki konflik karena perjodohan, kini sudah akur dan harmonis. Benar-benar keluarga impianku sejak dahulu.

Lain lagi cerita tentangku dan keluarga kecilku. Dulunya yang hanya ada 2 orang yaitu aku dan Mohrah, kini sudah menjadi 12 orang. Ya, pernikahan kami menghasilkan 9 orang anak dengan 8 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Benar-benar di luar dugaan.

"Ibu, bolehkah Wiwin bantu Ibu?" celetuk anak gadisku yang paling kecil saat melihatku kerepotan mencuci kacang tanah.

"Kamu mau bantu, Nak?" tanyaku tak yakin.

"Iya, Bu. Gak boleh, ya?" tanyanya lagi dengan raut kecewa yang justru membuatku ingin tertawa.

"Ya boleh, Win. Tapi, kamu yakin bisa cuci ini semua?" tanyaku.

"Bisa, Ibu. Kemarin Kak Fadilah ajarin ke aku." Wiwin menjawab polos.

"Ya sudah, ini, Nak." Aku mempersilakan anakku untuk ikut membantuku membersihkan kacang dari tanahnya.

Aku memusatkan perhatianku pada Wiwin yang sekarang sedang berusaha membersihkan kacang dengan telaten. Aku yang melihatnya begitu telaten dan tekun juga kaget, padahal selama ini Wiwin belum aku ajari apa-apa tentang ini.

Menyadari bahwa aku masih memperhatikannya, Wiwin menoleh. "Ibu sana saja, Wiwin bisa kok."

Aku menatapnya penuh selidik. "Yakin?" tanyaku menggoda.

Wiwin tertawa geli. "Beneran Ibuku yang cantik," ucapnya merayu.

Setelah aku yakin bahwa Wiwin bisa melakukan pekerjaan itu, aku segera meninggalkannya pergi menuju dapur untuk merebus air yang nantinya akan digunakan untuk merebus kacang sebelum akhirnya kacang itu aku jual di pelabuhan. Ya, sudah beberapa tahun ini aku bekerja sebagai penjual kacang tanah rebus dan camilan-camilan lainnya. Aku bekerja bukan karena disuruh apalagi paksaan, tapi aku bekerja dengan tujuan hanya ingin mencari penghasilan untuk bantu-bantu Mohrah dan sekedar mencari kesibukan di luar kesibukan rumah tangga. Satu kata, seru.

Sssrrr ....

Aku menuang beberapa gelas air ke dalam panci yang kini sudah berada di atas tungku perapian dan mulai menyalakan api. Tapi, berkali-kali api itu mati. Menyebalkan sekali. 

"Kok mati terus sih?" gumamku sebal sambil tetap berusaha menyalakan api itu.

Tiba-tiba aku merasakan ada udara berembus dari arah belakang. Anehnya, udara itu seperti bukan angin. 

Karena penasaran, aku menoleh ke arah sumber udara dan mendapati bahwa ada Fadilah yang meniup-niup ke arahku. Aku jadi yakin kalau Fadilah juga lah yang membuat api tidak mau menyala.

Aku menoleh dan tersenyum sabar ke arahnya. "Fadilah kok gitu? Ada apa sih, Nak?" tanyaku sabar.

"Hehehe." Dengan santainya, ia malah menyengir memamerkan deretan gigi putihnya. Padahal sudah jelas jika ia sedang memancing emosiku.

"Ada apa sih, Nak?" tanyaku lagi.

"Ada orang di luar," jawab Fadilah dengan menyengir lagi.

Aku menatapnya bingung. "Ada siapa?"

"Aku gak tau orangnya, makanya aku bilang ke Ibu." Fadilah menjawab lagi.

"Ada kakakmu di luar?" tanyaku lagi.

"Gak ada, kakak-kakak pada ke kebun," jelas Fadilah.

Aku mengangguk paham. "Sebentar, ya." 

Aku pergi ke luar meninggalkan masakanku sebentar untuk mengecek orang yang di maksud oleh Fadilah.

Baru saja aku sampai di ruang tamu, tiba-tiba sudah dikejutkan oleh kedatangan orang-orang yang sangat aku sayang. Aku tidak menyangka mereka datang lagi setelah beberapa tahun ini sempat tidak pulang kemari.

"Kak Sarinah! Kak Mura!" seruku terlalu senang sambil memeluk mereka berdua.

"Rah sayang! Aku kangen sama kamu." Kak Mura membalas pelukanku dibarengi dengan kata-kata gemasnya itu.

"Rah juga," balasku.

"Ya ampun, Satirah! Aku juga kangen kamu!" Kini giliran Kak Sarinah.

"Sama, Kak. Satirah juga." Aku memeluknya sambil berkata dengan nada merengek.

"Oh iya, duduk dulu." Aku mempersilakan mereka duduk di kursi setelah sebelumnya sadar jika pakaian mereka seperti sehabis melakukan perjalanan jauh.

"Kak Sarinah sama Kak Mura baru datang ke sini?" tanyaku.

"Iya, Rah. Pas sampai ke sini, langsung kita ke rumah kamu dulu." Kak Mura menjelaskan.

"Iya, sekalian lepas kangen setelah beberapa tahun gak ketemu sama kamu. Untung aja kita masih hafal jalannya karena waktu itu juga sempat ke sini." Kak Sarinah menyahut.

"Loh, jadi belum ke rumah Ibu?" tanyaku lagi. Dengan semangat, mereka mengangguk cepat.

"Terus rencananya gimana?" tanyaku sekali lagi.

"Begini, Rah. Nanti kita berangkat bareng ke rumah Ibu, bawa juga sekalian anak-anakmu." Kak Sarinah menjelaskan.

Aku mengangguk paham. "Ya sudah, Rah. Siap-siap sana, gih."

"Iya iya, Kak."

Aku langsung masuk lagi ke dalam rumah untuk bersiap-siap. Hanya pakaian sederhana dan seadanya, aku sudah cukup pe-de kok, hehe.

Selepas aku bersiap-siap, aku keluar untuk memanggil anak-anakku yang sedang bermain. Dengan sabar dan telaten, aku mendadani mereka. Yang awalnya comot karena bermain pasir hingga jadi rapi, bersih, dan wangi.

Dan tak butuh waktu lama pun, kami sudah selesai bersiap-siap dan sudah hendam berangkat.

Aku kembali keluar menemui Kak Mura dan Kak Sarinah sambil membawa serta keenam anakku.

"Sudah siap, Rah?" tanya Kak Sarinah.

Lihat selengkapnya