Tahu-tahu Jodoh

anonymous pout
Chapter #1

Layang-layang kenangan

"Ibu, aku pergi dulu!" teriakku pada Ibu yang masih asyik menyiapkan sarapan.

"Mau kemana Nak? makan dulu sini!" balas Ibu berteriak.

"Aku mau bermain dengan Mohrah Bu!" sahutku sambil berlari keluar rumah.

"Jangan lama-lama! kalau lapar kamu pulang ya!" ucap Ibu.

Napasku tersengal karena baru saja berlari di tengah tanah lapang halaman rumahku yang luas. Oh iya, aku lupa mengambil sesuatu. Aku berbalik badan lalu melirik kanan-kiri memastikan tidak ada yang melihatku. Aku berjalan mengendap-endap menuju langgar rumah yang sekarang sedang sepi, di sana aku akan mengambil empat buah siwalan untuk kumakan dengan Mohrah nanti.

"Ning! jalannya kok gitu? kayak maling aja," celetuk Bibi Marinti dari kejauhan.

"Gak Bi, cuma mau bawa tasbih aja," balasku berbohong.

"Tumben, mau main kok bawa tasbih?" tanyanya lagi dengan menahan tawa.

"Biar dilindungi Allah Bi," Jawabku lagi. Orang-orang di sana yang mendengar jawabanku langsung tertawa lepas, memang apa salahnya jawabanku?

Aku masuk langgar dan mengambil satu buah tasbih lalu berpura-pura bertasbih sebentar sambil menunggu situasi aman dan tidak ada yang mengawasiku. Mulutku sudah berkomat-kamit, mataku masih melirik ke arah kerumunan orang yang bergantian mengambil sarapan, dan jariku mulai memutar tasbih itu sehingga terlihat seperti berdzikir sungguhan.

Aku masih mengawasi keluargaku yang sedang makan bersama di latar rumah, sampai akhirnya aku tahu bahwa ini saat yang tepat untuk mengambil buah siwalan lalu pergi ke rumah Mohrah.

Aku berdiri kemudian meletakkan tasbih di atas lemari pendek di pojokan langgar. Selepas itu aku berjalan jinjit dan mengambil empat buah siwalan yang langsung kubungkus dengan kantong plastik. Sebenarnya aku sudah sering ditegur oleh Ibu karena mengambil buah siawalan di langgar yang seharusnya menjadi camilan pagi untuk Ayah dan teman-temannya, tapi aku sudah terlanjur tergiur dengan buah itu, sementara Ibu tidak pernah menyisakan satupun untukku, jadi kuambil saja buah di langgar.

Selepas membungkus siwalan, aku segera berdiri dengan lagak senormal mungkin agar tidak ada yang curiga denganku. Sekali lagi aku melirik ke arah orang yang sedang sarapan bersama, bisa kupastikan bahwa sekarang tidak ada yang mengawasiku. Aku berjalan pergi sambil mendekap kantong plastik berisi siwalan dan akhirnya aku sampai juga di rumah Mohrah.

"Mohrah!" sapaku pada Mohrah yang sedang sibuk memotong bambu.

"Iya, Sini!" balasnya.

Aku menghampiri Mohrah dan duduk di sampingnya. Aku heran dengannya, karena setiap pagi ia selalu menekuni bambu-bambunya yang membosankan untuk dilihat.

"Mohrah, kenapa sih setiap aku datang ke sini kamu selalu lagi potong bambu, memangnya kamu mau bikin apa?" tanyaku polos sambil mengupas kulit tipis siwalan.

"Aku mau buat layang-layang, nanti kita main sama-sama ya..." balasnya sembari menyunggingkan senyum.

"Eh, kamu bawa siwalan? dapat dari langgar ya?" tebaknya. Dia memang sudah tahu banyak tentangku, termasuk tentang kebiasaanku mengambil siwalan suguhan di langgar.

"Iya," jawabku dengan menyengir.

"Gak ada kapoknya ya." Mohrah terkekeh. Aku tidak mempedulikannya karena aku masih sibuk mencomot buah siwalan yang segar ini.

"Satirah, tolong ambilin itu," ucap Mohrah sambil menunjuk kertas di sebelahku.

Aku mengambil kertas tipis di sebelahku lalu kuberikan pada Mohrah. Selepas itu aku mengawasinya saat membuat layangan, ia mengaitkan dua bilah bambu yang berpotongan tegak lurus menggunakan benang, kemudian ujung layangan itu diberi benang dan dikaitkan, lalu ia menempelkan kertas tipis itu di atasnya, dan terakhir ia memberi benang di tengah layangan itu.

"Selesai, ayo kita mainkan," ajak Mohrah.

"Iya." Aku berdiri mengikutinya menuju ke langgar rumahnya. Di sana, Mohrah mengambil pensil dan menuliskan sesuatu di atas kertas layangan itu.

"M dan S. Angsokah, 20 Maret 1966." Aku membaca tulisan Mohrah.

"Ayo kita terbangkan!" ajaknya. Aku berdiri dan meletakkan buah yang tadi kumakan di langgar lalu aku berlari menyusulnya.

"Kamu pegang layangannya ke sana," ucapnya sembari menyuruhku untuk mundur lebih jauh.

"Stop!" sambungnya. Aku menghentikan langkahku lalu diam di tempat.

Lihat selengkapnya