Acara pertunangan Kak Sarinah sudah berlangsung lancar tanpa hambatan, tentunya karena aku yang rela mengejar Kak Sarinah agar tidak kabur sampai mengotori bajuku sendiri. Awalnya aku sempat dimarahi oleh Ibu karena memakai baju yang kotor dan lecek di saat hari spesial Kak Sarinah, tapi setelah aku menjelaskan apa adanya, Ibu jadi percaya dan tidak jadi memarahiku, justru menyuruhku untuk segera mengganti baju dan ikut menyaksikan pertunangan Kak Sarinah.
Mula-mula Kak Sarinah masih gundah saat akan dilamar, namun akhirnya ia tetap mengangguk walaupun aku tahu jika di dalam hatinya masih ada rasa yang mengganjal. Intinya aku hanya berharap jika suatu saat nanti Kak Sarinah benar-benar sudah menikah dengan orang yang melamarnya, semoga mereka bahagia dan terhindar dari perceraian.
"Satirah, Ibumu mana?" tanya Bu Hayati yang tiba-tiba datang dengan muka panik.
"Ada di dalam." Aku menjawab sambil memperhatikan muka panik Bu Hayati.
"Tolong panggilkan Ibumu." Bu Hayati mendorongku masuk ke dalam rumah untuk memanggil Ibu.
"Ibu," panggilku.
"Ibumu ada di dapur, Ning." Bibi Marinti menyahut.
"Oh." Aku menjawab singkat dan langsung berlari menuju dapur.
"Ibu!" teriakku lagi.
"Ada apa?" tanya Ibu.
"Ada Bu Hayati di luar." Aku menunjuk ke arah luar.
"Sebentar ya." Ibu meninggalkanku dan berjalan keluar rumah untuk menemui Bu Hayati.
"Tunggu, Bu!" seruku sambil berjalan keluar mengikuti Ibu.
"Ada apa, Bu?" tanya Ibuku dengan mengernyitkan dahi.
"Saroh mau melahirkan!" seru Bu Hayati sambil menggoyahkan tangan Ibu.
"Sebentar ya, saya mau ambil peralatannya dulu." Ibu masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil alat-alat melahirkan.
"Nak, kamu cari kayu bakar ya," ucap Ibu setelah keluar dari rumah dan membawa peralatan melahirkan untuk membantu anak Bu Hayati.
"Kenapa aku?" tanyaku bingung.
"Kamu cari kayu bakar sama Mohrah gih," sahut Ibuku sambil terus berjalan meninggalkanku dan mengikuti Bu Hayati menuju rumahnya.
"Kenapa sih Ibu menjadi dukun bayi, kalau tiba-tiba ada orang yang mau melahirkan, aku pasti disuruh melakukan kegiatan yang seharusnya dilakukan Ibu." Aku menggerutu dengan mulut cemberut.
"Kamu kenapa cemberut?" tanya Kak Mura tiba-tiba.
"Gak kenapa-kenapa." Aku memalingkan wajah.
"Alah, bilang aja kalau kamu itu males disuruh cari kayu bakar." Kak Mura mengejekku.
"Ikut campur aja." Aku berjalan meninggalkannya sendirian menuju rumah Mohrah.
Aku berjalan riang menuju rumah Mohrah sambil sesekali memetik bunga sepatu milik tetangga.
"Mohrah!" teriakku memanggilnya.
"Mohrah barusan pergi, Ning!" balas Bibi Nur yang sedang menjemur pakaian.
"Pergi ke mana, Bi?" tanyaku lagi.
"Lagi cari rumput di timur!" sahutnya dengan berteriak.