"Kakiku sakit!" teriakku yang masih terus meraung. Sementara itu, Bibi Armija masih memijat kakiku.
"Ya ampun Satirah, disuruh cari kayu bakar kok sampai begini," seru ibu yang tiba-tiba datang dengan masih membawa peralatan melahirkan.
"Sakit, Bu!" teriakku lagi.
"Nah, ini sudah selesai," ucap Bibi Armija setelah selesai memijat kakiku.
"Jalannya hati-hati ya," lanjutnya sambil membiarkanku menemui Ibuku.
"Ayo pulang, Bu." Aku menarik tangan Ibu untuk mengajaknya pulang.
"Iya ayo." Ibu berdiri dan membantuku berjalan pulang.
"Ibu, kakiku sakit." Aku merengek lagi.
"Sudah, nanti di rumah Ibu buatkan kue singkong deh." Ibu tersenyum.
"Beneran? makasih banyak Ibu!" seruku girang lalu memeluknya.
"Eh iya, sudah ayo pulang." Ibu kembali menuntunku untuk pulang.
Kami melanjutkan langkah kaki menuju rumah kami. Sebenarnya, jarak antara rumahku dan rumah Mohrah tidak terlalu jauh, bahkan rumah kami hanya berselisih sekitar 5 meter. Sedari kecil, kami berdua memang telah akrab dan sudah sering bermain bersama pada sore hari, tak jarang para tetangga di sini menganggap kami akan berjodoh dan langgeng hingga hari tua. Yah, itu sangat berlebihan, toh kita berdua masih terlalu kecil untuk membicarakan seputar perjodohan.
"Assalamualaikum," ucapku lirih setelah menginjakkan kaki di rumahku.
"Waalaikumsalam," jawab beberapa orang yang ada sedang duduk berbincang santai di amben depan rumahku.
"Kakimu kok pincang gitu, ada tragedi apalagi nih?" tanya Kak Mura dengan nada mengejek sambil menahan tawanya yang bisa lepas kapan saja.
"Tragedi apa aja deh, Kak Mura cerewet." Aku memalingkan wajah dan duduk di amben tak jauh dengannya.
"Boleh kutebak, mungkin kali ini tragedi ketiban kayu." Kak Mura melepas tawanya yang langsung menggelegar di udara.
"Cenayang ya?" tanyaku dengan muka tak senang.
"Berarti kamu beneran ketiban kayu? kasihan, haha." Kak Mura kembali tertawa dan membuatku merasa geram.
"Awas ya." Aku menggeram sebal yang membuat Kak Mura kembali melepaskan tawanya.
"Aku lihat lukanya dong." Kak Mura menggeser posisi duduknya untuk mendekatiku.
"Mau apa?" Aku membelalakkan mata.
"Lihat dong." Kak Mura menyentuh kakiku yang baru saja tertimpa batang pohon dan sontak membuatku menjerit kesakitan.
"Au, sakit!" teriakku.
"Oh, maaf ya Satirah cantik," ucap Kak Mura sambil menggeser posisi duduknya kembali ke posisi awal.
"Ada apa, Nak?" tanya Ibu.
"Kak Mura," ucapku mengadu.
"Mura, huh." Ibu menarik pelan telinga Kak Mura.
"Ampun," celetuk Kak Mura setelah Ibu menarik tangannya dari telinga Kak Mura.
"Kakiku sakit lagi, Bu." Aku memijat pelan kakiku yang malah terasa semakin sakit saja.
"Sebentar ya, Ibu mau minta minyak urut ke Ibunya Mohrah," ucap Ibu panik.
"Ibu gak punya minyak urut?" tanyaku.