Dering telepon terdengar nyaring, memecah ke-heningan ruangan. Bos yang duduk di hadapanku melotot dengan wajah memerah. Sudah dipastikan, dia akan marah.
Dengan tangan gemetar, aku berusaha meraih gawai dalam laci meja. Namun, tidak juga kunjung ditemukan. Di mana? Di mana? Di mana? batinku sudah seperti ber-senandung, menyanyikan lagu Alamat Palsu milik Ayu Ting-Ting.
"Kebiasaan!" serunya masih sambil menatapku tajam. "Sudah diberi tahu berapa kali, kalau dalam ruangan ponselnya digetarkan saja! Mengganggu konsentrasi orang yang lagi kerja! Kamu lupa perjanjian kerja, saat masuk ke ruangan ini?"
Aku menelan ludah lamat-lamat, saat melihat bosku yang sedang marah-marah. Terbata-bata, aku menjawab, "Eh, maaf, Pak. Sa-saya lupa."
"Orang yang pasang dering teleponnya nyaring, ketahuan banget kampungan!" katanya tersenyum sinis.
Kedua temanku terkikik di ujung ruangan. Sedangkan aku memutar bola mata malas. Hari ini, aku jadi bahan ejekan mereka. Hah! Awas saja, kalau mereka kena semprot, gantian aku yang akan tertawa sambil koprol!
Bos melangkah keluar ruangan. Sebelum menutup pintu, dia melirikku sekilas. Ih, dasar Bos Killer Sepanjang Masa! Kapan Bos Killer itu bisa bersikap lembut pada bawahannya?
Setelah pintu tertutup dan suara langkah tidak ter-dengar lagi, tawa Wawan dan Karina memenuhi ruangan. Aku pun mendekati meja Wawan, kemudian mencubit pinggangnya. "Senang banget, bahagia di atas penderitaan orang lain! Tuman, ya!"
Pria itu meringis, menahan sakit. "Ampun, Mbak. Am-pun!"
“Mbak, suara ponselnya digetarkan saja. Biar enggak dikatain kampungan," ledek Karina sambil mengulum senyum.
Ish! Aku melirik sinis ke arahnya. Mau mencubit, tapi kasihan. Akhirnya aku hanya mendengkus kesal, lalu me-langkah keluar. Aku menuju dapur yang terletak di lantai dasar. Sampai di sana, Mbak Vita sedang mencuci piring. Aku pun mengempaskan bokong di kursi kayu yang berukuran panjang. Biasanya, sales dan sopir akan duduk di sini sebelum pergi. Ya, mereka akan ngopi sambil memeriksa nota ataupun surat jalan. Setelahnya, baru berangkat ke toko tujuan.
"Kenapa mukanya ditekuk begitu?"
"Sebel, Mbak."
"Lah, kenapa?"
Akhirnya aku mengadukan kekesalanku pada Mbak Vita yang merupakan seorang office girl di kantor ini. Dia sahabat dekatku, selain Karina dan Wawan. Setiap pagi, Mbak Vita akan membuatkan semua karyawan kopi. Termasuk kami, yang ruangannya ada di lantai atas.
Oh iya, namaku Reyna. Gadis sederhana dan berusia 20 tahun, yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Tinggiku 165 cm dengan berat badan 45 kg. Kurus? Tentu saja tidak! Aku langsing, hehehe. Ada yang bilang aku ini hitam manis, tapi aku lebih suka dipanggil manis, coret hitamnya. Rambut lurus sebahu dan berlesung pipi.
Aku memiliki bos bernama Veri Hendrawan. Dia asli Cina. Semua orang biasa memanggilnya dengan sebutan Koko Asiang. Jutek, ketus, suka ngambek: semua sifat jelek ada padanya. Meskipun begitu, dia tampan. Kulitnya putih dan bersih, bak mandi susu setiap hari. Pakaian pun selalu licin dan wangi. Hidungnya mancung, dengan mata yang sipit, khas orang Cina. Dia duda beranak dua.
Setiap hari, ada saja alasannya untuk memakiku. Disiplin dan tepat waktu. Jika biasanya hari Minggu semua orang libur, aku selalu disuruh lembur. Demi rupiah untuk biaya kuliah, aku pun rela. Biarlah sekarang menderita, asalkan nanti berakhir bahagia. Asyik!
Aih! Kok, ngomongnya jadi ngaco begini, sih? Maaf! Kembali ke dapur.
"Oh, jadi Pak Koko habis marahin kamu?" tanya Mbak Vita yang berbadan mungil ini kepadaku. Dia masih tampak sibuk mencuci piring.
"Iya, Mbak. Aku sebel banget! Rasanya, pengin berhenti bekerja dan cari pekerjaan yang baru saja."
"Cari kerja itu susah. Nanti, biaya kuliah bagaimana?" Mbak Vita mulai sibuk menyusun piring di rak.
"Itulah yang aku pikirkan, Mbak. Aku pusing sepuluh keliling."
Tiba-tiba, suara sepatu yang bersentuhan dengan lantai menggema mendekati dapur. Aku bingung harus ngumpet di mana, jika itu Pak Very. Dengan cepat aku mengambil gelas, lalu mengisi dengan gula dan teh celup. Kutuangkan air keran, lalu pura-pura mengaduknya.