Tajwid Cinta

Selvi Nofitasari
Chapter #2

Bagian 2

Aku mondar-mandir di depan pos satpam, masih dengan memegang map dan muka memerah. Sialnya, tasku ketinggalan di ruangan. Mau balik lagi, malas ketemu bos yang tiba-tiba kesetanan.

"Ngapain, Dik? Kayaknya gelisah banget," sapa Pak David, satpam yang piket hari ini.

Aku diam saja, dengan mulut yang mengerucut. Bisa bisanya Bos Koko menyosor sembarangan. Dia pikir, aku ini gadis apaan? Kulirik jam di pergelangan tangan, jam sudah menunjukkan pukul 16.30. Tiga Puluh menit lagi, aku masuk kelas.

Aku pun duduk di depan meja pos satpam. Pak David menatapku dengan dahi mengerut. Pandangannya menye-lidik, seolah ingin tahu apa yang barusan terjadi. Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan meminta tolong Pak David. "Pak, tolong ambilkan tas aku di ruangan, dong!"

"Tinggal ambil saja, Dik. Kenapa, Bos Asiang habis gigit kamu? Kok, kelihatan kesel banget?" Pak David menaik-turunkan alisnya menggoda.

Ish! Aku mencebik kesal. Wajah yang tadinya sok memelas, kini kesal luar biasa. Oke, aku tidak akan minta tolong dia! Aku segera berdiri dan merapikan pakaian. Aku akan meninggalkan Pak David yang terus menatap dengan penuh tanya. Baiklah, aku akan masuk dengan cara mengendap-endap. Biasanya jam segini Bos Koko ada di lantai bawah, untuk menemui beberapa sales. Biasa, menanyakan masalah setoran.

"Dik, mau ke mana?" tanya Pak David, saat melihatku berdiri dan melangkah keluar pos.

Aku diam saja, lalu melangkah pergi. Aku berjalan melewati gudang, karena setelah pos satpam ada gudang yang lumayan besar dan panjang berdiri kukuh di antara pos satpam dan kantor.

Setelah sampai di depan kantor, aku mengintip dari luar, lalu menempelkan telinga di daun pintu. Tidak ada suara! Perlahan sekali, aku membuka pintu. Kepalaku melongok ke dalam. Sepi. Aku pun melanjutkan menuju ruangan, masih seperti maling yang masuk rumah orang.

Sampai di depan pintu ruangan, aku memutar kenop perlahan. Dengan sangat hati-hati, aku melangkah masuk. Di dalam tidak ada orang. Aku berjalan ke arah meja dan mengambil tas, serta meletakkan map di sana.

"Ngapain?" sapa seseorang mengagetkan.

Aku tahu suara siapa itu. Aku mendengkus kesal dan mengibaskan rambut, lalu menoleh ke belakang. Idih, terlihat Bos Koko dengan santainya menyilangkan kaki. Dia pun melipat tangan di dada dan bersandar di tiang pintu mem-perhatikanku.

"Kamu marah?" tanyanya.

Ya elah, masih tanya! Dia tidak melihat mukaku merah padam begini? Aku membuang muka dan berjalan ke arah pintu tempat dia berdiri miring. Mungkin, otaknya juga miring. Aku berniat keluar tanpa memedulikannya, tapi dia mencegahku saat sampai di depan pintu. Bos Koko merentangkan kedua tangan di tengah-tengah pintu itu.

Aku menatap wajah itu lekat dengan bibir cemberut. "Bapak pikir saya wanita seperti apa? Main sosor saja! Saya lebih suka angsa yang sosor bibir saya, dibanding Bapak. Ingat ya, Bapak sudah berdosa sama saya! Sudah setiap hari marah-marah. Saya merasa seperti kerja rodi, Pak, di sini. Jangan mentang-mentang merasa kaya dan ...."

Aku berpikir sejenak, mencari kata yang tepat supaya dia tidak GR.

Dia masih terlihat menunggu kalimatku yang meng-gantung.

"Dan sedikit ... sedikit." Aku tergagap, karena sorot matanya seolah memorak-porandakan keberanianku. "Sedikit, tam-tampan. Bapak jadi seenaknya sama saya, ya? Oke, saya berhenti dan mengundurkan diri!" kataku langsung membuang muka. Aku pun menepis tangannya dan melangkah pergi.

Terdengar dia berdecak beberapa kali. "Tunggu dulu!"

Aku berbalik, dan menoleh ke belakang. Dia pasti mau mohon-mohon minta aku bertahan. Heleh, lagu lama! "Apa?"

"Bon kamu di perusahaan belum lunas. Ingat?"

Aih, aku memejamkan mata sambil menggigit bibir. Malu. Aku lupa, masih ada bon sebesar 5 juta di perusahaan ini. Ketika awal masuk kuliah, aku kekurangan biaya. "Nanti saya bayar, tenang saja!" kataku kesal dan melangkah keluar.

Sampai di kampus aku menangis bombai, memikirkan nasibku kelak. Saat ini, aku dan temanku sedang duduk di bawah patung jamur yang berukuran besar, di dekat Fakultas Fisip. Sedangkan gedung Fakultas Ekonomi—jurusan kuliah-ku, berada di bawah sana. Kami harus menuruni tangga yang cukup panjang untuk sampai di sana. Berhubung dosen mata kuliah pertama tidak masuk, jadi kami duduk di sini. Aku pusing, bagaimana mau bayar biaya kuliah selanjutnya. Cari kerja juga tidak mudah.

 Teman karibku ini bernama Heni. Sejak tadi, dia berusaha menenangkan dan menghiburku dengan memberikan beberapa masukan. "Besok aku temenin, deh, melamar ke beberapa perusahaan."

"Aku tamat, Beb. Tamat pokoknya huhuhu." Aku mengelap ingus dengan tisu dan terus saja menangis.

"Sabar. Jodoh, rezeki, dan maut sudah ada yang mengatur. Tenang saja," hibur Heni. Wanita bermata cantik dan berkumis tipis ini sudah seperti saudara sendiri. Dia sangat baik dan setia kawan.

Tidak berapa lama, datanglah tiga teman priaku. Mereka ikut duduk di tangga.

Aku memiliki empat sahabat yang luar biasa. Kami biasa gila bareng, sedih bareng, dan melakukan banyak hal bersama. Tentunya, melakukan hal-hal yang positif.

"Dari tadi mukanya ditekuk begitu. Kamu kenapa?" tanya Soni, pria berhidung mancung.

"Enggak biasanya nangis begitu. Putus cinta, ya?" lanjut Reihan yang berambut cepak menahan senyum.

"Cowok mah banyak. Enggak usah dipikirin," tambah Teno yang berwajah manis. Dia mengacak pucuk kepalaku.

"Sudah, sudah. Orang lagi sedih. Kok, diajak main-main, sih? Dia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja," timpal Heni.

Ketiga teman priaku tampak berpikir sambil mangut-mangut.

"Jadi, itu masalahnya? Eh, nanti aku coba tanya di perusahaan tempatku bekerja besok, ya. Siapa tahu ada lowongan," ucap Soni.

"Di tempatku adanya buka lowongan, tapi sebagai office girl. Aku enggak rela nyuruh kamu kerja begituan," kata Reihan.

"Makasih, ya, Teman-teman. Aku lagi kesel hati dan pikiran," timpalku sembari menghapus air mata.

Lihat selengkapnya