Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #2

Aina

“NAMA AKU ARTINYA ‘mata yang indah’.”

“Jadi, Aina artinya ‘mata yang indah’?” Kataku, memastikan.

“Iya, Mas Billy.”

“Ibu kamu nggak salah pilih nama. Nama kamu nggak cuma tentang mata yang empunya; segala tentang pemiliknya, indah.”

“Gombal, Mas.” Aina mencubit perutku. Kami tertawa.

Aku tak bercanda saat itu. Mata Aina pantas disebut istimewa, mereka selalu jadi kesan pertama bagi banyak orang. Bola mata itu bentuknya bulat sempurna, berwarna hitam mengilap dan bila diperhatikan sungguh-sungguh ada corak kebiruan yang menari-nari di sana; dua bola mata itu seolah-olah bercahaya, dan selalu membuatku terpesona. Mata itu yang membuatku jatuh dalam kekaguman pada pemiliknya untuk pertama kalinya. Dan seterusnya, bukan saja tentang mata indah itu, segala tentang pemiliknya membuatku jatuh berkali-kali dalam kubangan yang orang sebut cinta.

Setelah merunut dan menelaah riwayat kisah kami, kusadari bahwa perkara sepele-lah yang membuat aku menaruh kasih pada Aina.

Ada tiga peristiwa yang harus kuceritakan.

 

Peristiwa pertama, Aina dan pemulung yang malang.

Pada waktu itu, meski belum lama tukar nama, kami sudah berkencan atas desakanku. Peristiwa ini terjadi di depan sebuah swalayan saat Aina hendak membeli air mineral.

Layaknya lelaki mengagumi seorang wanita dalam diam, kuperhatikan gebetanku itu dengan sungguh: Aina yang mengenakan celana jeans putih berpadu blus abu-abu, turun dari mobil lalu anggun berjalan sambil menjinjing tas kulit warna hitam.

Begitu tangannya memegang gagang pintu kaca swalayan, Aina memalingkan muka ke kanan dan perhatiannya tertuju kepada seorang pria paruh baya yang lesehan di emperan swalayan. Di sisi pria itu ada karung plastik yang separuh terisi; baju dan celana pendeknya lusuh, ia juga tak bersandal. Tak kuduga, Aina melepaskan tangannya dari gagang pintu kemudian menghampiri si pemulung, mereka saling sapa, dan Aina mencium tangan pria itu. Mereka bercakap-cakap sebentar seolah dua kenalan yang lama tak jumpa lalu Aina masuk ke dalam swayalan bersama orang itu. Mereka keluar dengan beberapa tas plastik yang dipegang si pemulung. Aina mencium tangan si pemulung sekali lagi, dan mereka berpisah. 

Begitu Aina membuka pintu mobil, langsung kusambut, “Tadi siapa, Aina?”

“Kenalan aku, Mas Billy.”

“Kenapa kamu ajak orang itu ke dalam?”

Lihat selengkapnya