LANTARAN SANGAT-SANGAT jatuh cinta hanya dalam beberapa kali kencan, berbekal tanda-tanda bahwa Aina pun dalam rasa yang sama denganku, pada suatu petang tanggal 1 Februari, saat kami tinggal berdua di dalam mobil, aku mengajukan pertanyaan yang kuakui sendiri memang bodoh: “Aina, kamu punya pacar?”
Tak ada jawaban. Aina tampak pura-pura tuli, tatapannya lurus ke depan. Kutengok jam tangan, 17.21 petang. Kami sedang terjebak kemacetan di perempatan, menunggu lampu lalu lintas ganti warna. Berisik sekali saat itu, klakson kendaraan seenaknya dibunyikan para pengendara di kanan-kiri-depan-belakang kami; suasana khas Jakarta ketika para pengendara sedang bertengkar dengan kesabarannya. Saat itu, aku pun sedang bertengkar dengan rasa khawatir menunggu jawaban Aina. Perhatianku terpusat pada pelat nomor mobil di depan kami, B 8845 NU.
“Aina, kamu punya pacar?” Kuulangi pertanyaanku tanpa menatap Aina, dan karena ragu-ragu, suaraku halus sekali, seolah sayup angin yang tertutupi racau radio mobil serta berisiknya Jakarta saat sore.
Aina tetap diam, tampak tetap pura-pura tuli.