Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #6

Ngambek

HUBUNGAN KAMI BERJALAN dengan baik—bahkan luar biasa—setelah kami menjadi sepasang kekasih. Walaupun kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tak pernah ada pertengkaran besar. Pertengkaran kami terbatas pada masalah anak ingusan (masalah konservatif). Karena itu, pada bulan-bulan awal hubungan kami, aku sudah sangat yakin, bahwa Aina-lah ‘orangnya’ tanpa mempertimbangkan hal-hal yang sebenarnya adalah jurang besar di antara kami. Baru kusadari sekarang, tindakanku hari itu terlalu gegabah, aku memberi boneka beruang itu sebelum kami mendapat restu.

Akan kuceritakan peristiwa hari itu dengan cermat, bahkan masalah kaum konservatif kami hari itu.

 

Hari itu aku baru saja pulang dari luar kota, dari pedalaman tanpa sinyal karena urusan pekerjaan. Dan karena Aina pun sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, selama beberapa hari kami jarang berkomunikasi.

Aina sendiri yang datang menjemputku di bandara. Ketika aku masuk ke dalam mobil, senyumku lebar sekali, senang sekali menemui kekasih yang sudah beberapa hari tak kutatap. Tapi, Aina malah memasang muka baja, wajahnya keras, tanpa senyum, tanpa ekspresi. Meski begitu Aina tetap meraih tanganku, mencium punggung tanganku, lalu kuraih kepalanya, mencium kening dan rambutnya (sl: ini salah satu tradisi konservatif yang kusebut protokol jumpa). Saking kerasnya wajah Aina, bibirku serasa mendarat di atas batang rel kereta saat menciumnya, dan selama itu hening, Aina diam, aku takut bicara.

Gelagat Aina membuatku khawatir. Aina jarang kesal apalagi marah padaku, maka sekali itu terjadi, kelihatannya sangat menakutkan. Aku tak percaya kehidupan setelah kematian, tapi mogok bicara Aina adalah keadaan yang kusebut neraka.

“Mau aku yang ‘nyetir, Mbak?” Kataku, bibirku tetap lebar menunjukkan senyum penuh kasih sayang.

Tak ada jawaban. Tak ada senyuman balasan. Mobil malah bergerak maju. Senyumku layu detik itu juga. Aku semakin khawatir.

Niat bergurau, aku berkata lagi, “Sesuai aplikasi, ya, Mbak,” bibirku lebar lagi, tapi senyuman itu mulai kupaksakan. Maksudku mencairkan suasana sekaligus memastikan dugaanku, tapi tak ada jawaban lagi. Klakson mobil di belakang kami yang menjawab candaanku.

Selama Aina membawa kami keluar dari kawasan bandara sampai jalan bebas hambatan, aku terus menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh untuk mendiagnosis sebab musabab mogok bicaranya. Kumanfaatkan semua kemampuan kognitif dan daya ingatku untuk menerka tindakan bodohku selama tiga hari di luar kota. Nihil. Seingatku, sebelum keberangkatanku kami sedang baik-baik saja.

Setelah berusaha sekuat tenaga dan menyerah, aku berkata dengan sangat hati-hati dan agak memelas, “Maaf, Mbak. Aku ‘udah berusaha, Mbak. Salahku apa, Mbak?”

“Nggak ada.” Ketus.

“Aku ‘udah berusaha cari salahku apa. Seingatku, nggak ada. Kamu lagi datang bu—.” Tak kuteruskan.

“Nggak.” Masih ketus.

Hening sekian saat. Perasaanku campur aduk; gugup, khawatir, dan takut menjadi satu. Aku pasti melakukan kesalahan, pasti. Tahun-tahun itu, kami jarang bertemu sehingga Aina selalu ceria dan banyak bicara saat bersamaku. Aina sedikit bicara hanya ketika letih, marah, atau kesal padaku. Beberapa menit kemudian, aku coba mencairkan suasana lagi. “Kamu ‘udah makan?”

“Iya.” Masih ketus.

“Kamu hari ini nggak kerja, kan? Ikut aku makan, ya?”

“Boleh.” Masih ketus.

“Di mana, ya, yang enak?”

Lihat selengkapnya