Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #7

Telecaster

“DIMAKAN SEMUANYA, JANGAN ada yang dibuang!”

Aku tersentak.

Intonasi suara sipir lagi. Aina telah berdiri di sampingku. Aku mendongak. “Nggak jadi yoga, Mbak?” Senyumku mengembang lagi, kali itu mata kubuat seperti mata kucing yang memelas.

Tak dijawab, dan Aina tak berkedip, muka bajanya tetap, sorot matanya serasa ujung jarum yang menusuk mataku; detik itu, bibirku mengerut seperti putri malu, senyumku ujuk-ujuk menciut, sejurus aku menunduk. Sesaat lalu, aku mendongak lagi, kami saling tatap sekian saat lagi, kupasang muka paling menyedihkan yang kubisa, sementara Aina tetap dengan air muka paling ketus yang pernah kulihat. Sampai saat itu, aku sudah yakin sekali bahwa aku telah melakukan kesalahan, tapi aku masih tak tahu apa.

Aina akhirnya menggeleng pasrah, beranjak dari sampingku lalu duduk di seberang meja makan. Kami berhadapan, tetap saling tatap, tanpa kedipan, dan sorot matanya masih terasa seperti jarum yang menusuk dua bola mataku. Saat-saat seperti itu, mata indahnya sama sekali tak bercahaya. “Selama kamu di pesawat tadi, apa yang kamu pikirin, sih?” Dan ketus intonasi suara sipir penjaranya belum juga reda.

Aku menunduk untuk berpikir, sesekali mengangkat muka seraya mengusap-usap rambutku sendiri. Saat itu adegannya benar-benar seperti seorang tersangka berhadapan dengan tukang ketik BAP; kedua tangan Aina ada di atas meja, sementara kedua tanganku di bawah meja. “Mbak, aku tahu, aku ada salah, pasti, dan kesalahanku pasti parah!”

Aina menggeleng lalu menunduk. “Kamu benar-benar nggak ingat?” Intonasi suara Aina berubah, kedengarannya seperti mengasihaniku.

Aku diam lagi, muka kucing ‘melas kupasang lagi.

Aina menggeleng kesekian kalinya. “Astagfirullah, Mas! Kemarin kita setahun.”

“Astaga! Kemarin tanggal 1 Februari?” Tanpa menunggu jawaban Aina, dengan sangat hati-hati, aku bangkit dari kursi lalu berjalan dengan tenang menuju pintu seolah tak terjadi apa-apa, setelahnya baru aku lari seperti orang kesetanan sepanjang lorong apartemen menuju rubanah di mana mobilku parkir selama tiga hari, dan kembali lagi dengan sebuah peti persegi panjang. Saking gegasnya aku bergerak, jarak lantai sepuluh dan rubanah kuperpendek serasa satu langkah. Aku menabrak tiga orang dalam perjalananku.

Masuk lagi ke apartemen, peti hadiah itu kutenteng dengan kesombongan yang berlebihan, senyum kucing melasku berubah jadi senyum seorang pahlawan perang yang sedang diarak keliling kota. “Aku ‘udah beli ini beberapa minggu lalu,” kataku seraya mengangkat sedikit lebih tinggi peti yang kutenteng. Kepercayaan diri dan keangkuhanku datang kembali.

“Ini apa?” Untuk pertama kalinya senyum Aina mengembang hari itu.

Kuletakkan peti itu di lantai. “Buka ‘aja!” Kuangkat kedua alisku, aku tersenyum dengan bibir agak berat ke kanan. Keangkuhanku benar-benar mencapai titik maksimalnya.

“Hah! Telecaster Bass?” Katanya seraya menggigit bibir bawah. “Kamu dapat dari mana? Ini nggak diproduksi lagi, loh, Mas!”

“Beberapa bulan lalu kamu sempat bilang ingin punya ini, jadi aku berusaha cari, Mbak. Aku nggak paham soal musik, dan aku nggak tahu benda ini istimewanya apa, tapi menurut informanku, kamu pasti makin cinta sama kekasihmu ini kalau benda ini jadi kado setahunan kita. Silakan!” Aku membuka kedua tangan dan mundur satu langkah, seolah sedang mempersembahkan sesuatu.

Aina kehabisan kata-kata dan hanya terpaku menatapku. Entah aku kelebihan rasa atau apa, tapi pada tatapan dan senyumnya saat itu terpampang binar-binar cinta, apalagi Aina terus-terusan menggigit bibir bawahnya. Aku bangga bukan main saat itu.

“Makasih banyak, Mas!” Aina sigap memelukku, mencium bibirku, memelukku lebih erat, melepaskan pelukannya seakan-akan mendorongku, lalu mengeluarkan bas warna kuning keputihan itu dari petinya.

“Main dong!”

Kami lalu beranjak ke tempat peralatan musik Aina berada kemudian duduk di lantai, berhadapan. Sesudah bas barunya tersambung dengan amplifier, Aina langsung menyetem benda itu, mencari bunyi yang tepat untuk senar-senarnya tanpa bantuan alat apa pun. Wanita ini memiliki telinga yang sempurna sebagai seorang musikus. Aku selalu kagum melihat Aina dan alat-alat musiknya; tampak anggun, seksi, dan maskulin pada saat yang sama. Wanita dengan setelan yoga—legging dan sport bra ketat—memegang bas? Rasa-rasanya semua pria yang punya berahi akan merasakan sensasi tertentu pada bagian bawah tubuhnya.

Saat bunyi senar-senar bas barunya sudah terdengar wajar, jari-jarinya langsung menari di atas senar-senar itu dan terdengarlah bunyi intro Waiting Room dari Fugazi. Aina mengangkat kedua keningnya, mengisyaratkan bahwa ini lagu kesukaanku.

“’Udah nggak fals,” kataku.

Namun, tiba-tiba Aina berhenti memetik basnya lalu mulai mengecek kondisi benda itu dari ujung sampai ujung. “Perlu diservis. ‘Udah lama nggak dimainin biasanya bunyinya rada nggak enak.” Aina menidurkan bas itu di sampingnya, menatapku. “Makasih, ya, Mas. Aku nggak ‘nyangka, loh.”

“Kamu nggak sangka aku ‘udah punya hadiah setahunan kita?”

Aina mengangguk dan kami tertawa. “Maaf, ya, Mas, aku sempat ‘ngambek.”

“Kalau kamu nggak ‘ngambek, aku pasti lupa sampai besok, Mbak.” Aina menjulurkan kepalanya dan menciumku untuk kedua kalinya. Aina yang manis telah kembali. “Main lagi, dong!”

“Tapi pakai bas yang lain dulu, ya?” Aina bangkit bersama Telecaster Bass kuning-keputihan itu lalu mendekati lima bas elektrik yang ditegakkan pada penyanggahnya di sudut ruangan lalu meletakkan bas pemberianku itu di antara bas-bas lain. Lalu meraih salah satu bas yang bertuliskan Rickenbacker dan kembali lesehan di depanku.

“Mbak, kenapa kamu punya bas sebanyak itu?”

“Karakter suara,” selanjutnya, Aina menjelaskan dengan menggebu-gebu mengenai perbedaan karakter suara beberapa merek bas elektrik di dunia. “... alasannya itu, Mas, tiap bas aku ini karakternya beda-beda.” Penjelasan Aina masih panjang, tapi karena pengetahuan musik jauh lebih buruk, aku mengangguk-angguk saja. Banyak yang tak kumengerti saat Aina bicara soal musik, tapi aku suka melihat seorang wanita bicara tentang sesuatu yang dia suka.

Sementara Aina menyambungkan Rickenbacker-nya dengan amplifier. “Mbak, perasaan kamu selalu main pakai bas yang ini,” kusentuh badan bas bertuliskan Rickenbacker itu.

“Kayak yang tadi aku bilang. Karakter suara, Mas. Aku paling suka sama karakter suara Rickenbacker ini.”

“Berarti bas-bas itu,” aku menunjuk deretan bas milik Aina “Kamu nggak suka?”

“Ya, suka. Tapi bisa dibilang, aku jatuh cinta sama suara Rickenbacker ini.”

“Kamu lebay, Mbak.”

“Kamu nggak paham karena kamu bukan pemain bas.”

“Menurut aku, suara semua bas kamu sama ‘aja.”

“Kamu harus jadi pemain bas dulu, Mas,” Aina diam sebentar, sepertinya sedang mencari kata, “Kamu nggak bakal tahu apa itu cinta sebelum kamu mencintai dan dicintai,” Aina tersenyum, “Aina,” sambungnya, seolah-olah baru saja menciptakan sebuah kutipan yang akan menjadi masyhur.

Kami tertawa.

“Aku juga punya,” kataku menghentikan tawa kami. “Kamu nggak akan tahu apa itu cinta, sebelum kamu menderita karena cinta. Billy.”

Kami tertawa lagi. Setelah itu kami perang kutipan sampai aku bertanya, “Mbak, kalau seandainya kamu cuma bisa punya satu bas. Kamu akan pilih Rickenbacker?”

“Dulu iya, sekarang nggak. Kamu tahu, kan, aku orangnya setia sama merek. Tapi, karena sekarang aku punya bas Telecaster pemberian pacar.” Aina mengangkat kedua alisnya. “Makanya aku harus ‘milih Telecaster.”

“Payah! Katanya cinta,” kataku, mengejek.

“Aku harus berkorban buat cinta yang lebih besar. “Aina mengangkat alisnya lagi, menggodaku. “Cinta butuh pengorbanan; pengorbanan butuh cinta.” Aina memulai lagi perang kutipan kami.

“Cinta tanpa pengorbanan itu bagaikan pedang tanpa gagang,” kataku menjawab genderang perang Aina.

Kami tertawa lagi sampai aku sekali lagi menghentikan tawa kami dengan pertanyaan. “Waktu itu kenapa kamu pengen banget bas Telecaster? Istimewanya apa?”

“Sebenarnya kalau soal karakter suara, aku biasa ‘aja. Waktu itu aku baru ‘aja baca artikel soal bas yang dipakai sama Randy Meisner. Ternyata dia pernah pakai bas Telecaster. Apalagi bas Telecaster ini terakhir diproduksi tahun 70-an, lumayan langka, dan Telecaster kan terkenalnya jenis gitar Fender, bukan bas. Sebenarnya waktu itu aku asal ngomong ‘aja ke kamu kalau aku pengen ‘nambah koleksi. Kalau dapat, ya, syukur. Eh, kamu kasih hadiah setahunan Telecaster ke aku.” Aina tertawa.

“Siapa Randy Meisner?”

Bassist-nya The Eagles.”

“Ngomong-ngomong soal The Eagles. Tadi kamu putar Hotel California berkali-kali itu ada maksudnya, ya?”

“Menurut kamu?”

Kami tertawa lagi.

Akhirnya siang itu kami habiskan dengan ‘main musik bersama, aku—dengan kemampuan seadanya—bermain gitar sekaligus bernyanyi (karena suara Aina sumbang); sementara Aina memetik basnya.

Setelah belasan lagu, jari-jariku mulai sakit, dan aku meminta Aina untuk bermain piano. Kuletakkan gitar pada tempatnya lalu bangkit menuju kulkas dan mengeluarkan satu botol bir dari sana, detik yang sama, Aina yang telah duduk manis di depan pianonya, berkata, “Jangan minum banyak-banyak!”

Dengan botol bir di tangan, aku beranjak duduk di sofa yang ada di tengah ruangan, menempelkan bibirku pada moncong botol, menunggingkan botol hijau itu, lalu mengamati Aina yang duduk menghadap piano, membelakangiku. Lagu-lagu dalam balutan piano menggema di dalam apartemen selama sekian saat kemudian, beberapa yang kukenali karena komposisinya sedap di telinga adalah George Benson – In Your Eyes; Schubert – Four Impromptus, Op. 90, D. 899: No. 3 in G-Flat Major, Andante;  Tohpati – Khatulistiwa; Indra Q – Anyer 10 Maret; KLa Project – Semoga; Anima – Bintang; dan tentu, The Eagles – Hotel California. Dan selama itu, aku bolak-balik kulkas, botol demi botol kutenggak.

Sampai kemudian, Aina memainkan lagu Pink Floyd, Us and Them, salah satu lagu paling magis yang pernah kudengar, bahkan ketika berbunyi sebagai nada-nada piano saja. Nada-nada lagu itu selalu membuatku merinding. Lebih-lebih, saat itu matahari sore mulai menyusup masuk ke apartemen lewat jendela, berkas-berkas cahaya itu membuat seisi ruangan perlahan-lahan seolah berwarna jingga, semua benda di dalam apartemen seperti memantulkan cahaya jingga; piano, sofa, televisi, bas-bas itu, sampai rambut Aina seolah berwarna jingga, dan tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Aku benci warna jingga saat senja.

Tak ingin dikelabuti kesedihan, aku bangkit menuju kulkas kesekian kalinya untuk mengambil botol bir baru. Tapi baru saja tanganku memegang gagang pintu kulkas, alunan piano tiba-tiba berhenti dan Aina langsung memutar kepalanya ke belakang, menatapku. “Minum ‘aja terus!”

Aku tertawa canggung, seolah-olah bocah yang baru saja tertangkap basah mengambil es krim tanpa izin ibu. “Aku ambil buat kamu, kok.” Kukeluarkan satu botol lagi dari kulkas, mendekati Aina sambil cengengesan, memeluknya yang masih duduk di kursi piano, dan menyerahkan botol bir itu. Aina menenggaknya sedikit.

 “Aku, satu lagi, ya, Cantik?” Kataku sambil memijat punggungnya, coba merayu.

“Nggak. Kamu bilang aku cantik cuma pas ada maunya doang!” Kami tertawa. “Satu botol ini berdua ‘aja, aku nggak kuat ‘abisin ini sendiri. Nanti malam aku mau jalan sama teman aku.”

Kuterima botol itu dari tangan Aina. “Mbak, kenapa lagu yang terakhir tadi selalu bikin aku merinding, ya?”

Lihat selengkapnya