Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #8

Boneka

BEGITU SADAR, HAL pertama yang terlintas dalam pikiran adalah aku baru saja mimpi basah. Saat mataku terbuka penuh dan menyekanya, aku celingak-celinguk memastikan sekitar; aku sendiri di kamar itu. 

·        Mas aku pergi sama temen aku (lalu menyebut beberapa nama yang kukenal baik).

·        Kalo udah bangun langsung mandi

·        Minyak yang tadi aku pake buat pijet agak lengket soalnya

·        Aku udah pesenin makan lagi buat kamu

·        Ada di meja

·        Bukan makanan kambing

·        JANGAN MINUM LAGI! (emoji wajah merah bertanduk)

·        Besok aku ikut ke nikahan temen kamu.

·        (Beberapa emoji cium) 

Itulah pesan-pesan dari Aina yang muncul saat aku memastikan waktu di ponsel. Pukul 21.58.

‘Sudah mandi dan wangi, saat berdiri di depan lemari, sedang pakai baju, kegiatanku berhenti oleh penampakan boneka beruang pemberianku yang geletak di atas meja rias Aina. Aku lalu duduk di ranjang sebentar dan pandanganku menyapu sekelilingku. Tak banyak perabotan di kamar itu, hanya ada satu ranjang untuk dua orang, satu meja rias dengan cermin besarnya di mana bertempatnya perlengkapan poles muka Aina, satu kursi di depan meja rias itu, lemari pakaian besar, pendingin ruangan di dinding, dan satu meja kecil untuk lampu baca di sisi kanan ranjang—di meja itu ada potret aku dan Aina sedang tersenyum dalam satu bingkai.

Aku bangkit, meraih ponsel dan boneka itu, lalu pergi ke ruang tengah dan terus menuju balkon. Boneka kecil itu kubaringkan di atas kursi kayu yang Aina beli agar kududuki saat ‘ngudut; satu batang sigaret keluar dari kotak, membara, asap berembus keluar dari mulutku, dan tatapanku langsung menuju langit. Aku menggeleng menatap langit di atasku, langit malam Jakarta memang selalu cacat, langit macam apa yang selalu hitam pekat dan tak pernah memberi tempat untuk bintang, batinku, lalu membuka ponsel untuk melihat pesan lain. Pesan dari mama menarik perhatianku. Tukar pesan kami dalam dialek Tobelo:


·        Billy, besok sore nggak ada yang antar mama ke tempat latihan paduan suara untuk Kebaktian Minggu. Besok sore kamu sudah pulang atau masih di luar kota? (Beberapa emoji acungan jempol) – Mama.

·        Besok sore aku pulang ke rumah, Ma. Aku yang akan antar mama. Aku sudah di Jakarta, lagi di tempat kawan. – Aku.

·        Kawan biasa atau kawan luar biasa? (Emoji satu mata kedip) – Mama.  

·        Hahaha ... Besok mama masak apa? – Aku.

·        Rencananya ayam bakar kecap. (Emoji acungan jempol) – Mama.

·        Mantap. – Aku.

·        Besok siang, bukan besok malam. Kamu sampai rumah pasti sudah habis. (Emoji acungan jempol lagi) – Mama.

·        Aku nggak akan pulang lagi. – Aku.

·        Jika anakku tak pulang lagi, daku bisa cari anak baru. (Emoji lidah terjulur) – Mama.

·        Silakan saja dikau cari yang setampan anakmu ini. Dikau tak akan menemukannya di belahan bumi mana pun. – Aku.

·        (Beberapa emoji tawa dan emoji hati). – Mama.

 

Kedekatanku dengan mama lebih mirip kedekatan dua orang sahabat daripada ibu-anak. Jika orang membaca tukar pesan kami, mereka tak mengira itu mama. Lebih-lebih, saat itu mama sedang ‘latah teknologi’ dan tergila-gila pada emoji sehingga semua pesan yang mama kirim kepadaku selalu berakhir dengan emoji yang kadang kurang tepat penempatannya.

Kami sangat dekat, mungkin karena aku anak semata wayang atau mungkin karena pasca-Kerusuhan Halmahera kami hidup berdua saja dan menanggung penderitaan itu bersama setelah papa tiada. Perang saudara itu menghancurkan segalanya. Ribuan rumah dibakar, ribuan orang-orang meninggal lalu dikubur layaknya binatang, dan ribuan masa depan hangus terbakar bersama jelaga rumah-rumah ibadah yang berkobar.

Sebab dan karakter Kerusuhan Halmahera sering disamakan begitu saja dengan kerusuhan Ambon, tapi kedua konflik itu berbeda. Setelah mencari informasi sana sini, membaca banyak literatur, serta mendengar cerita dari para orang-orang yang terlibat langsung, aku menarik kesimpulan bahwa agak sulit menyederhanakan konflik itu karena masing-masing pihak punya cerita sendiri, banyak sarjana serta pewarta muncul dengan kepentingan dan kedangkalannya. Banyak yang mengambil kesimpulan sederhana, singkat, dan tergesa-gesa, serta enggan mengakui bahwa iman berperan penting dalam konflik itu. Mereka bilang penyebab utamanya keadilan, masalah tanah, etnis, ekonomi, otonomi, perpecahan ABRI, dan seterusnya. Namun, sama seperti semua perang saudara yang pernah terjadi, penyebabnya tidak sesederhana itu. Sentimen etnis, kepentingan politik, ketidakadilan ekonomi-sosial mungkin adalah kayu bakar, kemudian provokasi adalah bensin yang disiram, dan pada akhirnya agama menjadi macis agar api itu membara. Dan terbakarlah Halmahera.

Seorang paman—yang sejak bocah kupanggil Om Laut karena beliau seorang nelayan, pernah bilang, “Saya ini ikut perang itu, tapi saya sama sekali tidak bangga. Billy, yang namanya Kerusuhan Ambon, Halmahera, Poso dan lain-lain adalah bukti tak becusnya orang sipil mengurus negara. Pemerintahan sipil itu tidak becus urus keamanan,” ia melanjutkan dalam dialek Tobelo, bahwa: sejak Pak Harto turun, lalu Sarjana Dari Jerman Yang Cinta Istri, Kakek Yang Suka Guyon, sampai Nenek Tawa Unik, sama saja. “Sipil-sipil itu tak becus, negara ini selalu ada di tepi jurang,” kata pamanku. Pamanku itu sangat benci pemerintah sipil, dan setiap kali minum captikus bersamanya, ia selalu bertanya, “Setelah reformasi, apa?” Lantaran mabuk, sering kujawab pertanyaan itu dengan beberapa jawaban: supaya Indonesia jadi negara tanpa warga negara yang sanggup jadi kepala negara; supaya bibir Indonesia terus ada di pantat Amerika atau Cina; supaya orang-orang bisa bicara sesuka hati sampai derajat Presiden saja diselipkan di bawah derajat ketua RT sehingga bisa dihina atas nama kebebasan berbicara; supaya semakin banyak wartawan amatir yang bisa seenaknya menulis judul berita seperti premis novel misteri; supaya para aktivis serta ‘pahlawan demokrasi’ mendapat giliran membohongi rakyat; supaya negara antah-berantah macam Vanuatu tanpa rasa takut meludahi wajah Indonesia di muka banyak negara setiap tahun; supaya pada Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-100 nanti, bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah jadi bahasa Inggris.

Sejak aku bisa ikut pemilu, pamanku itu sering mengajakku diskusi warung kopi tentang perkembangan politik terkini. Dan ketika dekat pemilu, ia pasti menghubungiku, memastikan aku memilih tokoh militer. Orang-orang yang terlibat langsung dalam perang itu dan berpikiran seperti pamanku tak sedikit jumlahnya, aku pernah bertemu beberapa. Argumen mereka mirip, “Untuk apa negara ini kaya raya dan kita bisa hidup bebas kalau besok lusa kita tahu akan ada perang lagi.”

Aku sendiri, walaupun sudah sering bertemu dengan banyak teori politik dari berbagai sudut pandang, dan merasa bahwa pandangan pamanku terlalu prematur dan radikal; doktrinnya tetap memengaruhi keputusanku saat pemilu. Aku suka tokoh militer. Bukan lantaran papa dulunya seorang prajurit, tapi pengalaman hidup dan trauma lebih kuat pengaruhnya daripada kalimat-kalimat atau adagium para filsuf politik kulit putih. Lebih-lebih, aku kasihan melihat mama. Dalam sejarah manusia, jejak perang yang paling pasti—selain orang mati dan perubahan—adalah luka. Biarpun sedikit, masih ada nanah pada luka yang belum tersembuhkan waktu, mama buktinya. Mama memang tidak memiliki luka fisik sebab perang itu tapi api yang berkobar di Halmahera mencipta luka bakar batin untuknya. Luka itu ada pada banyak sekali janda dan yatim-piatu seperti mama dan aku.

Aku dan mama menderita saat papa pergi. Tapi, keluarga Om Jenderal menyelamatkan hidup kami. Setelah kepergian papa, Om Jenderal meminta mama meninggalkan Halmahera untuk membantu bisnis katering istrinya. Papa memang hanya seorang prajurit rendahan tapi menurut cerita mama, papa adalah orang yang gampang bergaul, jujur dan karismatik, sehingga papa disenangi serta disegani kawan maupun atasan. Aku tahu belakangan bahwa Om Jenderal dan papa adalah kawan karib sedari mereka bujang saat pergi bertugas di tempat yang sama.

Belasan tahun kemudian, bisnis yang dibangun mama dan istri Om Jendral menjadi sangat besar. Setelah aku menjadi sarjana dan seorang pendirinya telah pergi lebih dulu sementara yang lain semakin menua, aku kemudian membantu meneruskan bisnis itu, di samping pekerjaan utamaku, yaitu mengurus perusahaan-perusahaan Om Jenderal yang beliau bentuk sebelum pensiun atas nama istrinya. Hanya aku yang bisa dan beliau percaya meneruskan bisnis-bisnis itu. Beliau cuma punya dua anak. Yang pertama, pria, meninggal saat SMA karena tawuran siswa. Yang kedua, seorang perempuan, sebaya denganku. Dia adalah gadis yang selalu mama inginkan sebagai menantu tapi aku tak bersedia karena kami sudah seperti kakak-beradik. Malangnya, dia tak mau lagi bicara denganku. Hubungan kami putus karena persoalan cinta monyet, padahal sejak kecil dia adalah teman bermainku, sahabatku, sekaligus adik kecilku. Sejak dia kuliah dan pergi dari Indonesia, dia sengaja memutuskan komunikasi kami dan tak pernah mau bertemu denganku lagi. Dia juga belum bersedia melanjutkan usaha orang tuanya. Karena itu, aku terpaksa harus mengambil tanggung jawab itu. Aku sangat berharap dia mau mengejar mimpinya sebagai seorang penata busana di negara ini sembari membantuku meneruskan usaha orang tuanya. Aku ingin hubungan kami membaik. Aku merindukan adik perempuanku itu kadang-kadang.

 

Batang demi batang sigaret menemaniku merenung, sampai kemudian turun gerimis dari langit Jakarta yang cacat itu. Kuraih boneka beruang itu dari atas bangku kayu, masuk ke ruang tengah, membaringkan boneka di atas meja, menyalakan speaker, meraih iPad Aina, dan menyetel daftar putar berjudul Berisik Mas Billy! yang Aina buatkan untukku. Tony Sly mulai meneriaki penggalan lirik International You Day, gelegarnya memenuhi seisi apartemen.

Duduk di sofa, kuraih boneka beruang itu untuk kesekian kalinya, kali itu kuamati dengan teliti. Beberapa kali kuputar-kuputar boneka itu untuk menjamah detail bagian depan dan belakangnya. Aku berhenti saat mengamati bagian tulang belakang boneka itu, setelah menyibak bulu-bulunya yang lebat, tampak bekas jahitan kecil di sana. 

Pada bulan ketiga kami bersama, saat kami berkencan Aina membawa kemenakan perempuannya yang berusia sekitar empat tahun; itu pertama kalinya aku bertemu Miya atau sering kusebut Aina mini sebab gadis kecil itu berambut bondol dan gempal, persis penampakan Aina dalam foto masa kecilnya. Sekian hari sesudah kencan itu, saat sedang terjebak di kemacetan, perhatianku ditarik oleh boneka Dora the Explorer yang dijajakan tukang boneka di pinggir jalan. Teringat Miya, aku membeli boneka Dora dan boneka beruang. Boneka Dora itu sudah kuberikan kepada kemenakannya, sementara boneka beruang itu tetap kusimpan. Awalnya ingin kuberikan kepada Aina, tapi mengingat usia Aina saat itu, kukira tak pantas lagi diberi boneka.

Namun kemudian, entah datang dari mana, muncul ide untuk melamar Aina dengan boneka itu suatu saat nanti. Aku segera membeli cincin lamaran untuk Aina, merobek bagian belakang boneka itu, memasukkan cincin itu ke dalamnya, lalu pergi ke tukang jahit untuk menjahit ulang bekas sobekan. Andaikata terjadi, boneka beruang itu akan kuminta kembali lalu melamarnya dengan cincin yang tak pernah Aina tahu terus bersamanya selama kami bersama.

Lihat selengkapnya