ESOK PAGINYA, JAM 6 pagi, aku membangunkan Aina yang baru sekian jam tidur, pagi itu ada seminar yang harus Aina ikuti. Seperti biasa, pagi itu Aina menyiapkan diri selama-lamanya ‘Tuhan’ menciptakan langit dan bumi, dan baru berangkat setengah jam sebelum acara dimulai. Namun, setengah jam setelah Aina meninggalkan apartemen, sebuah panggilan muncul di ponselku, Aina. Aina bicara sangat hati-hati dan lemah lembut. “Mas,” diam sebentar. “Mas, maaf. Nanti kamu marah-marah sama aku sepuasnya, nggak apa-apa, tapi tolong anterin dompet aku ke sini, boleh? Deket, kok.”
Aku tak berkata, kekesalanku sedang pada puncaknya karena kejadian Aina ketinggalan barang sudah jutaan kali berulang.
Tiba di sebuah hotel, di lobi kudapati Aina sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita, mungkin sejawatnya, entah. Melihatku dan Aina melakukan protokol jumpa dengan wajah yang sama-sama keras, wanita itu bertanya, “Kamu sudah menikah, Aina?”
Tanpa peduli, aku sigap berkata, “Saya bukan suami mbak Aina, Bu. Saya adiknya mbak Aina,” lalu tertawa. Aku suka bercanda dengan orang asing. Tapi, Aina menatapku dengan tatapan pisau dan muka baja; Aina benci bila aku bercanda di sembarang tempat, apalagi dengan orang asing, apalagi menjurus ke umur. “Mas Billy calon suami saya, Dok,” kata Aina tanpa beban.
Wanita itu mengangguk dan tertawa menangggapi guyonanku. Aku, saat itu, malah tertegun, itu pertama kalinya Aina menyebutku sebagai calon suami, dan ganjil terdengar telingaku, entah mengapa. Aina mengucapkan sesuatu yang belum pasti bisa kupenuhi. Sejujurnya, keraguan yang menghantuiku kemudian, dimulai sejak pagi itu.
Kemudian, dua wanita itu lanjut bicara, dan aku memperhatikan Aina tanpa kedip; entah kenapa, aku suka sekali melihat Aina bicara dengan bahas Indonesia yang terdengar formal, dan aku selalu bangga melihat Aina bicara tentang profesinya dengan kewibawaannya, apalagi saat itu Aina menggunakan kata ganti ‘saya’, yang jarang sekali Aina gunakan denganku (sl: jika kupikir sekarang, memang aneh).