Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #10

Cemburu

SORE HARINYA, AKU dan aina menuju pesta pernikahan kawan kuliahku. Di tengah acara, sedang pemanggung pesta menyanyikan I Wanna Grow Old with You sementara kami mengoborol, wajah Aina yang sedang cerah merona ujuk manyun seketika. “Ada anak komunikasi, tuh!”

Aku langsung melihat sekitar dan mendapati R. sedang bercakap-cakap dengan seseorang di tengah kerumunan. Sialnya, semesta agak kurang ajar padaku, baru sekian detik aku menatap R., dia memalingkan muka dan mata kami bertemu. Dia tersenyum, aku tersenyum, dan segera dia menghampiriku. Selama dia berjalan, aku menarik satu napas panjang, membayangkan suasana di mobil saat pulang dari pesta itu. Mogok bicara dua hari beruntun ada di depanku.

R. adalah mantan kekasihku yang paling tak disukai Aina. Alasannya kurang jelas saat itu. Dugaanku, karena aku mengaku kepada Aina bahwa R. adalah wanita yang paling sulit kulupakan. Aku dan R. berhubungan sejak remaja dan cukup lama, sehingga secara tak sadar kami masing-masing mendefinisikan wawasan dunia dan pola pikir dalam hubungan itu, termasuk cinta, seks, dan hidup, meski pada akhirnya hubungan itu harus kandas karena kami saling menyakiti.

Banyak hal tentang R. sudah kuceritakan kepada Aina. Bukan karena R. lebih istimewa dari Aina, tapi karena Aina sendiri yang bertanya dan mengharuskanku bercerita jujur. Namun, karena Aina mencemburui R. secara berlebihan, aku tak bisa cerita semua tentang R. Padahal, aku ingin Aina tahu semuanya; Aina yang menyelamatkanku, Aina yang membuatku melupakan R.

Saat berhadapan, gestur tubuh R. berisyarat hendak menjulurkan pipi agar kami cipika-cipiki, tapi aku malah menjulurkan tanganku. Kami jabat tangan saja. Canggung.

“Ti, kenalin. Aina,” kataku kepada R.

R. tersenyum. “Hai,” kata R. lalu menyebut namanya. Aina juga menyebut namanya, mereka jabat tangan, R. menjulurkan pipi, Aina menyambutnya, mereka cipika-cipiki sambil ‘pelukan.

“Suami lu mana?” Kataku.

“Nggak ikut.”

“Anak lu?”

Tiba-tiba, wajah R. berubah dan matanya langsung lepas dari mataku. Aku mengerti. Kata anak yang terucap di antara kami selalu membuat suasana mendingin. “Di rumah,” katanya, suaranya pelan sekali.

Kami lalu basa-basi. Dan walaupun Aina terus-terusan tersenyum, semakin lama semakin tampak jelas bahwa Aina sangat tak nyaman. Karena itu, aku menghentikan percakapan dan mengajak Aina untuk menyalami pengantin, tapi R. sebaliknya, dia tak ingin percakapan kami usai. Bahkan saat kami cipika-cipiki sebelum pisah, saat pipi kananku dan pipi kirinya bertemu, R. sempat berbisik, “Billy, yang ini dijaga baik-baik.” Aina tak mendengarnya.

Sejurus setelah cipika-cipiki, R. berkata lagi, “Billy, bilang maaf sama mama kemarin nggak sempat datang.”

Kutengok kiri, tiba-tiba senyum joker Aina layu dan mukanya membatu. Dan sejak dari situ, sampai di depan pengantin lalu jalan berdampingan ke mobil, kerasnya muka Aina tak retak. Namun, baru saja kami masuk ke mobil, pengandaianku terbantahkan, Aina tak mogok bicara, tapi berkata, “Aslinya dia ternyata cantik banget, ya!” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Pernyataan yang seolah-olah pujian, padahal sindiran.

“Kok kamu kenal muka dia? Kalian kan belum pernah ketemu?”

“Bukan cewek namanya kalau nggak kenal mantan-mantannya si pacar!”

Aku diam, tak tahu harus jawab apa, tapi aku senang, setidaknya Aina tak mogok bicara. Kekesalannya belum tingkat tertinggi.

“Dia keturunan India, ya!” Lagi, bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

“Iya, Mbak.”

“Pantas! Cantik banget! Hidungnya mancung! Tinggi lagi! Wajar sih dia sempat jadi model. Kelihatannya dia cocok sama kamu! Kalau dia yang berdiri di samping kamu kelihatannya serasi, nggak kayak aku, kalau nggak pakai hak, cuma segininya kamu,” kata Aina seraya menyentuh lenganku.

Melihat Aina mengomel dan merasa tergeletik, kuteruskan saja, “Iya, kata orang juga cocok. Makanya pas tadi cipika-cipiki, aku sempat bilang, ‘kutunggu jandamu, Ti.’” Aku tertawa sejurus memalingkan muka. Wajah Aina bukan lagi batu, tapi baja, keras, mulutnya sedikit terbuka, sama sekali candaanku tak termakan.

Lihat selengkapnya