SESUNGGUHNYA, MAMA ‘LEBIH baik’ dalam menunjukkan keberatannya pada Aina dibanding kakak kandung papa sekaligus ibu baptisku, aku biasa menyebutnya Ma’ Ani atau Tua Pendeta atau Tua. (Sl: Mama Ani adalah sapaan untuk wali baptis perempuan; Tua adalah sapaan untuk kakak dari ayah atau ibu. O, ya, di kampungku, orang yang dianggap memiliki pekerjaan yang lebih ‘terhormat’ pasti disapa dengan embel-embel pekerjaannya, misalnya: Om Engku (Guru), Om Pendeta (Pendeta), Om Pala (Kepala Kampung), dan seterusnya. Beberapa kawan yang berasal dari kampungku, masih menyapa mama dengan Tante ABRI karena papa mereka sebut sebagai Om ABRI, bukan TNI).
Lantaran gelarnya sebagai wali baptisku sekaligus seorang pemuka agama, Tua Pendeta merasa bertanggung jawab pada kehidupan rohaniahku. Baik sebenarnya, tapi rasa tanggung jawabnya kadang berlebihan. Rumah tangga masa depanku pun seolah-olah harus tersentuh tangannya. Saat itu, andaikata ceritaku bersama Aina diriwayatkan dalam skenario sinetron, mungkin Tua Pendeta adalah tokoh yang paling pantas menjadi ‘bawang merah’ yang dibenci semua pemirsa, sebab dia lebih terang menentang. Lagi pula, mama mungkin saja telah mendelegasikan persoalan Aina kepadanya. Tua Pendeta beberapa kali menyampaikan keberatannya, dan selalu pada saat yang ‘tepat’, saat aku pulang ke Halmahera untuk merayakan hari ulang tahunku.
Aku dan mama selalu pulang kampung setiap hari ulang tahunku. Menurut mama, ini kewajiban, harus kami lakukan, tak ada alasan apa pun yang layak jadi alibi untuk tidak mengunjungi papa. Ini juga yang menjadi alasan aku tak pernah merayakan hari ulang tahunku di samping para kekasih, termasuk Aina. Aina memahami soal ini meski tak pernah-pernah benar tahu apa yang kulakukan saat hari ulang tahun selama kami bersama.
Dulu, saat kesehatan mama masih memungkinkan, aku selalu pulang bersama mama, dan rasanya sangat menyenangkan karena bisa berkumpul dengan keluarga besar. Namun, sejak hubunganku dan Aina sampai di telinga para keluarga, rasanya pulang kampung adalah memuakkan karena aku harus pulang seorang diri (mama sakit) dan menghadapi Tua Pendeta yang terus-terusan memperingati tentang Aina.
Aku paham jika ditentang sedemikian oleh ibu baptisku, karena dia memberi bahan pikir yang bila ditimbang ada benarnya, beralasan kuat, dan masuk akal. Beberapa terpaku erat di kepalaku.
“Billy, jangan main-main! Makin lama, kamu makin terikat, makin susah lepas nantinya.” Begitu kata Tua Pendeta–dalam dialek Tobelo–setelah mama bercerita kepadanya tentang Aina.
Biasanya tak kujawab, hanya menunduk.
“Billy, pernikahan itu keputusan-keputusan hidup yang dituntun komitmen. Setiap keputusan dalam pernikahan biasanya terkait dengan wawasan dunia atau wawasan agama. Kalian beda, kalian dididik dari kecil dengan cara yang berbeda, diajari nilai-nilai yang berbeda, akan sulit. Agama untuk kita bukan cuma soal ibadah atau iman, agama itu budaya dan pola pikir kita!”
Tak kujawab, hanya menunduk.