Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #18

Percakapan

SELESAI BERDOA, AINA membuka ponselnya lagi, serius menatapnya sebentar, dan berkata, “O, iya, Mas! Kamu tahu, nggak? Ternyata, adik kelas Kak Y. waktu SMA ada yang kerja satu rumah sakit sama teman aku.”

Waktunya bergunjing.

“Kak Y.? Dokter yang kamu nggak suka itu?”

“Ih, bukan cuma aku, loh, ternyata. Kata adik kelasnya, Kak Y. itu galak banget. Hampir semua adik kelasnya waktu SMA nggak suka sama dia.” Seterusnya, kami lalu menggunjingkan Kak Y.

Soal sejawat Aina ini, mereka sudah terlibat perang dingin cukup lama, dan Aina selalu mengeluhkannya kepadaku. Saking seringnya Aina menggunjingkannya, tanpa sadar, aku juga sudah membencinya tanpa pernah bertemu muka dengannya.

“Aku penasaran, loh, sama Kak Y. ini,” kataku saat Aina sedang-sedangnya menggerutui sikap Kak Y. kepadanya di rumah sakit.

Sejurus ucapanku, teramat kebetulan, seorang perempuan muncul dari pintu depan, mendekati kami, lalu menyapa Aina. Itu Kak Y. yang sedang kami gunjingkan. Secara fisik, wanita itu cukup menarik, rambut panjang diikat merupa ekor kuda, pipinya tirus, bentuk badannya ramping, serta tentengannya mewah. Aku sempat heran, karena Aina pernah bercerita bahwa Kak Y. ini gagal menikah karena calon suaminya menghamili wanita lain. Terlepas dari benar tidaknya fakta yang muncul setiap kali Aina menggunjingkan sifat-sifatnya, sepertinya mantan calon suami Kak Y. ini laki-laki tolol, pikirku saat itu. Aku angkuh saat itu karena merasa aku bukan laki-laki tolol. Saat itu.

Keherananku tak berhenti di situ, Kak Y. dan Aina malah berpelukan mesra seakan sahabat yang lama tak jumpa, tukar cium pipi, dan saling puji tentengan serta busana masing-masing.

“Mas, ini Kak Y,” kata Aina kepadaku setelah mereka selesai saling puji dalam kebohongan. Aku dan wanita itu lalu bersalaman serta tukar nama, dan kedua wanita itu lanjut bercengkrama, hangat dan bersahabat. (Sl: di situ aku mengamini perkataan seorang kawan: “Filsafat baru bisa disebut ilmu kebijaksanaan ketika mampu membuat pria memahami wanita.”).

Sesudah Kak Y. meninggalkan kami, air muka Aina langsung keras. “Sebal, deh, Mas!”

“Lah? Bukannya kalian sahabat sejati?”

“Sahabat apaan! Kamu lihat kan tadi aku ‘muji semua yang dia pakai? Terus dia muji tas aku, jam aku, sepatu aku.”

Aku mengangguk.

“Cewek, berlebihan kayak gitu, cuma ke orang yang asal kenal atau ke orang yang nggak disukain.”

“Jadi, kalau perempuan saling puji secara berlebihan, artinya mereka nggak saling suka?” Aku memperjelas maksud Aina.

“Itu yang aku rasain selama ini.”

“O, ‘gitu?” Aku mengangguk, tak tahu harus jawab apa.

“Kamu dengar, nggak, tadi dia ‘nyindir aku?” Aina lalu menirukan ucapan Kak Y, “‘Kok, jam segini ‘udah di sini? Enak, ya, kalau keluarganya yang punya tempat kerjanya, nggak kayak aku, yang mau PPDS ‘aja harus berjuang setengah mati.”

Keningku mengerut, bingung.

“Dia sarkas sekaligus pamer sama aku, mentang-mentang dia mau PPDS. Dia mau lanjutin spesialis, Mas.” Aina meraih botol air mineral dari atas meja, menenggaknya, lalu menjentikkan kuku-kukunya di pergelangan tanganku, tanda bahwa Aina ingin mengucapkan sesuatu tapi ragu-ragu. “Aku mau tanya pendapat kamu, Mas? Kalau aku lanjut sekolah, menurut kamu gimana?”

“Kamu masih bingung?”

“Iya, Mas, kan aku pernah bilang, kadang aku suka jenuh sama rutinitas yang ‘gini-‘gini ‘aja, tapi kalau aku berhenti sekarang, aku masih nggak rela sama perjuangan aku selama ini. Makanya, aku kadang ngerasa harus lanjut PPDS. Tapi, kata Pakde, nggak perlu. Yang penting aku ‘udah jadi dokter, selanjutnya aku nerusin usaha keluarga ‘aja. Anak-anaknya kan nggak ada yang dokter, cuma aku. Nah, aku diharapin buat ngurus bisnis rumah sakit Pakde sama ibu.”

“Bukannya Pakde kamu itu dokter, ya?”

“Iya, tapi Pakde berhenti karena fokus usaha sama ibu.” Aina diam, tampak sedang berpikir. “Menurut kamu gimana, Mas?”

“Jangan tanya menurut aku, menurut kamu gimana?”

“Kalau menurut ibu—.” Belum sempat Aina meneruskan ucapannya, aku memotong, “Jangan menurut ibu. Jangan menurut aku. Jangan menurut Pakde. Menurut kamu gimana? Apa yang kamu mau? Apa yang kira-kira kamu jalanin hari ini dan kamu nggak ‘nyesal nantinya. Aina, cuma kamu yang tahu kemampuan kamu, kamu yang bisa ukur. Orang lain cuma bisa kasih pendapat, termasuk aku. Kamu harus ambil keputusan sendiri! Kalau kamu salah, kamu yang akan tanggung. Bukan ibu, bukan aku, bukan Pakde.”

“Aku bingung, Mas. Makanya aku tanya.”

Lihat selengkapnya