SUDAH JAM EMPAT sore saat kuparkirkan mobil di pekarangan Rumah Sakit Bersalib, tempat mama dirawat. Sudah kukatakan, mama kelebihan iman, karena itu mama selalu meminta supaya dirawat di rumah sakit yang ada salibnya karena mama lebih nyaman dirawat oleh yang seiman. Memang aneh, tapi aku menurut saja, setidaknya Aina bilang bahwa Rumah Sakit Bersalib adalah salah satu yang terbaik. Meskipun begitu, aku masih tak paham mengapa harus seorang sakit dirawat dokter atau perawat yang seiman, agaknya mustahil ada perintah tertulis macam itu di kitab suci mama. (Sl: Apa orang-orang religius harus melakukan lebih dari apa yang tertulis di kitab suci supaya imannya lebih afdal? Entahlah aku bukan orang beriman. Aku hanya berusaha membahagiakan mama, termasuk menyokong segala bentuk keimanannya, semua yang kubisa. Kecuali, Aina).
Setelah makan siang sebelum sore bersama di kedai, Aina harus kembali dulu ke rumah sakit lalu ke apartemen untuk ganti baju, alias mempersiapkan penampilannya sesempurna mungkin sebelum bertemu mama. Sementara aku harus menuju Rumah Sakit Bersalib karena ditunggu Om Jam Tangan yang juga menjenguk mama hari itu.
Om Jam Tangan adalah rekan kerja sekaligus kawanku, pria tua keparat itu juga orang kepercayaan Om Jenderal untuk mengurus perusahaan beliau. Ada alasan historis yang membuatku menulis nama orang tua itu di kontak ponselku sebagai Om Jam Tangan.
Suatu ketika, saat aku sedang menunggu Om Jenderal di beranda belakang rumah beliau, muncul seorang pria tua asing, lalu duduk satu meja denganku.
“Halo, Pak,” kataku menyambut orang tua asing itu.
Ia membalas dengan tersenyum kecut sekaligus sinis.
“Kau sudah punya pacar, Anak Muda?” Itu kata sekaligus pertanyaan pertama kepadaku.
“Belum, Pak,” kataku.
Duda itu pun memberiku satu, entah petuah, entah umpama, bunyinya, “Wanita itu seperti toko jam tangan, jika tampak luar toko tersebut menjual jam-jam mewah dan berkualitas prima, hanya pria tertentu yang berani melewati pintu masuk toko itu. Mereka adalah para pria yang merasa pantas berada di sana. Tapi, jika tampak luar toko itu menjual jam puluhan ribu dan ada di samping terminal, semua pria akan merasa berhak ada di dalam sana.” Lebih kurang itu yang ia katakan kepadaku, sekonyong-konyong, pada pertemuan pertama, tanpa menyapa atau bertanya nama, ia langsung pamer umpama.
Aku terkejut mendengarnya, tak mengerti, bingung harus jawab apa. Situasi yang asing. Orang tua aneh. Namun, pada akhirnya aku maklum, begitulah ia, nyeleneh dan sulit ditebak. Itu yang kemudian membuatku menulis namanya pada kontak ponselku: Om Jam Tangan.
Om Jam Tangan adalah sejawat paling karib sekaligus mentor yang kukagumi karena kebijaksanaan, pengalaman, kecerdasan, serta kemampuan wirausaha dan negosiasi yang menurutku di atas rata-rata. Lebih-lebih, ia seorang tua yang jenaka, kaya perumpamaan, dan hampir selalu bertanya di akhir tuturnya.
Kami bersahabat kemudian. Persahabatan yang aneh antara seorang pemuda 20-an dan seorang sepuh 60-an. Pada beberapa kesempatan–yang jarang terjadi–ia bisa menjadi ayah untukku. Ia menolak dipanggil pak atau om, terlalu resmi katanya. “Aku ini sebentar lagi mati, cukuplah puluhan tahun dihormati anak muda macam kau. Panggil saja namaku, kalau sungkan, pakai saja ‘bang’ di depannya. Bagaimana?”
Aku mengangguk sepakat.
Saat aku memperkenalkan Aina, ia berkata kepadaku, “Kau ingat perkataanku waktu pertama kali kita ketemu?”
Aku mengangguk.
“Pacarmu itu toko jam tangan mewah.” Ia mengangguk-anggukkan kepala seraya terus tersenyum. “Hanya saja, toko jam tangan mewah yang ada di samping terminal, makanya sopir angkot macam kau berani masuk!”
Kami tertawa.