Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #21

Nekat

USAI KEPERGIAN OM Jam Tangan, lagi-lagi di lobi Rumah Sakit Bersalib, aku berpapasan dengan R. “Billy!” Katanya begitu melihatku lalu mendekat, menjulurkan kepala, kami cipika-cipiki. “Kok, sendiri? Aina mana?”

“Di jalan.”

Setelah pertemuan di pesta perkawinan dua tahun sebelumnya, hubungan Aina dan R. agak merekat, mereka saling mengikuti di Instagram dan sesekali tukar pujian di sana. Pun aku, setelah mama sakit dan R. semakin sering datang menjenguk dan mengurus mama, kami sering bertemu. Tapi, baru sore itu lagi, di lobi rumah sakit, setelah sekian lama, aku dan R. bicara empat mata. Dan sore itu, seperti biasa, entah kenapa muncul lagi perasaan asing itu. Ada yang belum selesai di antara kami. Di pihakku, aku punya penyesalan akan R., dan aku yakin, R. juga memiliki penyesalan yang sama akan aku, terang terlihat dari matanya setiap kali kami bicara. Aku mengenalnya dan dia mengenalku, kami berhubungan tak hanya satu dua tahun, kami tumbuh bersama sebagai seorang manusia.

Kami hanya basa-basi, tapi sekian saat menatap matanya, lagi-lagi dari matanya yang sayu, aku tahu, dia sedang sedih. Aku ingin bertanya ada apa, tapi kuurungkan. 

“Suami kamu nggak ikut?”

R. menjawabku dengan gelengan, tapi matanya menjelaskan sesuatu. Aku mengenal watak R., saat itu dia sedang ditekan pikiran. Ketika kata suami kusebut, matanya menjelaskan bahwa dia sedang bermasalah dengan suaminya. Suaminya kukenal baik, kami sempat bicara serius empat mata sebelum R. menikah; saat itu aku masih mencintai R. sehingga aku ingin mengenal sosok suaminya lebih dekat. Pria yang luar biasa. Aku lebih dari ikhlas melepaskan R. bersama pria itu, ia adalah yang terbaik untuk membimbing R. Semua wanita pasti menginginkan pria macam suaminya R., mapan, tampan, beriman, dan pengertian. Andaikata benar mereka sedang bermasalah, itu pasti karena R. yang macam-macam. Aku yakin. Dia memang pernah menyakitiku, aku pernah menyakitinya, tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku masih peduli padanya. Namun, aku menghindari interaksi berlebihan dengannya karena aku tak ingin membuat Aina sakit hati.

“Anak kamu mana?” Kataku, niat basa-basi.

R. tak menjawab, matanya langsung lepas dari mataku. Seperti yang sudah, kami diam. Aku baru menyesal setelah mengucapkannya. Setiap kali ada kata anak di antara kami, itu yang terjadi. 

“Ada Aina, tuh,” kata R. tiba-tiba. Aku sigap berpaling, dan dari pintu masuk Aina sudah tersenyum ke arah kami. Kusambut Aina dengan protokol jumpa yang megah, bahkan saat mencium keningnya, kubunyikan ciuman itu. Kami melakukannya di depan R. yang hanya tersenyum.

“Ti, tolong bilang ke Aina kalau lu nggak sayang lagi sama gua,” kataku begitu saja. “Aina sering cemburu sama lu.”

“Bohong!” Wajah Aina langsung keras.

R. tertawa, “Kamu nggak berubah, ya, Billy? Kalau ngomong asal buka mulut ‘aja, bercanda seenaknya.” Dia lalu memegang pundak Aina, “Kamu nggak perlu takut, Aina, Billy nggak akan macam-macam.”

“Kamu juga,” R. menatapku lagi, “Masa ngomong, ‘gitu? Di depan Aina lagi.”

“Nggak ‘usah dipikirin dan nggak ‘usah nggak enak sama aku. Mulut orang ini ‘emang kurang ajar,” katanya kepada Aina sambil memukul lenganku.

Sekian menit seterusnya, mereka saling puji penampilan masing-masing secara berlebihan. Aku yang diam saja malah teringat Mbak Y. Sampai kemudian, R. yang berkata, “Aku balik duluan, ya, takut macet. Ke atas, gih! Buruan, tadi katanya mama mau tidur.”

Aina dan R. cipaka-cipiki, dan R. pergi.

“Kok masih saling puji berlebihan?” Kataku ujuk-ujuk seraya menggenggam tangan Aina lalu meraih tas plastik dari tangannya. “Kamu masih nggak suka sama dia?”

“Bukannya aku nggak suka sama dia. Tapi kenapa, ya, Mas, aku masih ada rasa nggak enak sama dia? Masih janggal lihat kamu ‘ngobrol sama dia.”

Aku tertawa. Terpaksa. Perasaan perempuan tak pernah salah.

 

Mendekati ambang pintu ruang inap mama, Aina tiba-tiba berhenti. “Mas, kalau mama udah tidur, gimana?”

“Aku suruh bangun,” kataku bercanda.

Lihat selengkapnya