SEPANJANG PERJALANAN KEMBALI ke rumah sakit, turun dari mobil, terperangkap di dalam lift, hingga aku berhenti sejenak di depan pintu ruang inap mama, sudah terbayangkan betapa matinya suasana di ruang inap mama nanti. Mungkin, tertinggal riuh suara televisi, mama dengan wajah kerasnya, serta Aina yang tetap seperti robot; dan Aina pasti sangat senang aku kembali, mengeluarkannya dari suasana mati itu. Mungkin juga, di dalam kamar tinggal mama seorang diri, Aina telah pamit pulang.
Saat aku membuka pintu, terkaanku terbantahkan, aku terkejut bukan main melihat adegan di dalam kamar itu. Aina sedang memindahkan buah-buah ke piring di pangkuan mama, saat itu mama telah duduk dengan menyadarkan tubuhnya pada tempat tidur yang separuh bagian atasnya diangkat menjadi sandaran punggung agar mama bisa duduk dengan nyaman.
“Belum pernah—.” Itu ucapan terakhir Aina sebelum mereka menyadari aku telah kembali.
“Belum pernah apa?” Sekenanya aku bertanya setelah pintu terbuka.
Tatapan mereka langsung menuju pintu, menatapku, tanpa menjawabku. Mereka terkejut. Aku lebih-lebih.
“Katanya mama mau makan sate? Aku beli sate ini jauh.”
“Kamu lama. Mama hampir mati kelaparan. Hampir saja tadi mama suruh Aina telepon polisi, lapor ada anak mau bunuh ibunya.”