Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #23

Matahari

KOTA JAKARTA LENGGANG terasa. Kota yang selalu sibuk dan carut-marut, di mana segalanya merupa benang-benang yang melingkar kusut dan manusianya seperti mesin yang otomatis bekerja, malam itu agak berbeda, hawanya menurut riang hatiku, aku bagai sedang jalan-jalan sore di taman bunga seraya tangan melenggang sementara bibir lirih bersiul. Menyenangkan. Sejak meninggalkan Rumah Sakit Bersalib, roda mobil menapaki jalanan kota hingga jalan bebas hambatan, bumi seolah rupa-rupa warna, kemeriahannya meruak ke segala tempat aku berada, seolah bumi tercipta sebagai tempat orang berpesta.

Kami tak bicara sejak tinggal di dalam mobil berdua, Aina terlalu letih, sehingga begitu duduk di sampingku, kursi mobil langsung direbahkan dan Aina jatuh dalam mimpi. Aku mengendalikan mobil menyusur jalanan kota dengan hanya dikawani lagu serta sesekali suara penyiar radio. Suasana di mobil semakin menyenangkan ketika sang penyiar menyetel Born to Love You dari George Duke menyusul Versace on the Floor-nya Bruno Mars. Aina pernah bilang bahwa tak ada musik yang lebih pas untuk malam Jakarta sehabis gerimis selain R&B.

Sedang menyetir, aku beberapa kali menatap raga Aina yang tenang dalam mimpi, dan setiap kali menatap wajahnya, aku tersenyum, membayangkan repotnya Aina menyiapkan diri sebelum menjenguk mama, riasan wajah dan lentik bulu matanya sangat tak biasa.

Jika kami berhenti di lampu merah, kusempatkan untuk membelai rambut Aina lalu mencium telapak tanganku setelahnya. Aku suka aroma rambutnya sejak dulu: seperti wewangian dari bunga atau buah, entahlah, bisa jadi wewangian itu bila dikecap rasanya mirip manisnya permen karet anggur. Dulu aku pernah tanya, “Mbak, kamu pakai sampo apa? Wanginya enak.”

Lihat selengkapnya