Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #25

Abang

BEBERAPA KALI PANGGILANKU tak dijawab. Aku tak menyerah. Pada panggilan ke-sebelas, perempuan yang menerima panggilanku membentak di seberang sana, “Halo! Kenapa?”

“Bicara sama kakakmu, atur intonasi suaramu!” Aku menjawabnya dengan tenang.

“Kenapa?” Katanya lagi, lembut tapi ketus.

“Aku baru bicara sama Om. Kamu bikin ulah apa lagi?”

“Bukan urusan kamu.”

“Aku kakakmu!”

Dia diam, lalu dengan memelas, dia bicara dalam bahasa Inggris dan Indonesia yang dicampur-campur seperti orang catat kognitif, “Kakak macam apa yang meninggalkan adiknya? Aku pernah bilang, R. itu bukan perempuan baik-baik. Dia nggak pantas untuk kamu. Tapi, kamu nggak peduli.”

“Kalau ini masih tentang cinta monyet itu. Aku minta maaf.”

“Dan sekarang kamu dengan orang yang beda agama! Dia juga akan sama saja dengan R., perempuan-perempuan itu—.”

“Jaga mulut kamu! Jangan bicara macam-macam soal Aina,” kali itu, aku benar-benar membentaknya.

Hening.

Aku yang kemudian angkat bicara lagi, “Pulang dulu! Om ingin ketemu kamu. Kamu anak satu-satunya. Jangan bikin orang tua kecewa,” kataku, ‘melas.

Dia tak bicara.

“Tante juga sedang sakit. Mungkin waktunya sebentar lagi,” kataku begitu saja. Dan setelah berkata, dadaku sesak, entah kenapa. Mama memang membaik, tapi bagian kecil hatiku berkata sebaliknya.

Setelah panggilan kuputuskan, muncul pesan singkat darinya:

·        Aku masih sayang kamu (Dalam bahasa Inggris)

Tak kujawab pesan itu. Beranjak ke dalam rumah, aku menghadap sebuah bingkai foto besar yang digantung di dinding. Ada tiga anak kecil di sana. Almarhum Abang, aku, dan adik kami. Foto itu diambil ketika kami masih SD di sebuah acara pelantikan. Di dalam foto itu, tak ada satu pun yang tersenyum. Abang di paling kiri mengenakan kemeja biru dengan dasi kupu-kupu dan rambut yang disisir ke kiri, almarhum memang selalu necis sejak bocah. Aku di tengah, mengenakan batik dan dasi kupu-kupu (aneh) karena tak mau kalah necis dari almarhum. Di kanan, adik kami yang paling kecil mengenakan rok mengembang dan kaus merah muda.

Aku tumbuh bersama dengan dua kakak beradik itu dan hubungan kami layaknya saudara kandung. Aku belajar banyak hal dari almarhum Abang, dan hampir semua yang ia lakukan, aku turut bersama. Buku adalah salah satunya. Entah ia menulis atau tidak, tapi kebiasaan membacaku adalah darinya. Banyak orang yang bilang aku mirip dengannya, ya, mungkin, aku memang mengagumi caranya berpikir, kepribadiannya, kewibawaannya, kemampuannya memimpin, dan banyak hal lagi. Bahkan aku belajar cara memperlakukan perempuan pun darinya. Sejak SMP, Abang punya pacar namanya Kak N., mereka bersama sampai Abang meninggal. Kak N. masih berhubungan baik denganku sampai saat ini meski kami jarang berkomunikasi lagi. Kak N. sendiri yang mengaku kepadaku bahwa dia belum bisa melupakan Abang. Kisah cinta Abang dan Kak N. membuat aku dan Aina terkagum-kagum, dan Aina sempat dengan naifnya berharap agar kami bisa seperti mereka.

Malang untuk kami, Abang pergi sangat cepat. Abang meninggal karena tawuran siswa. Pada hari kematiannya, saat ada penyerangan besar-besaran, aku seharusnya berada di sana. Walaupun saat itu aku masih SMP dan ia sudah SMA, almarhum beberapa kali mengajakku untuk bergabung dengan kelompoknya melakukan penyisiran. Namun, pada hari penyerangan besar itu, ia melarangku ikut. “Kali ini bahaya, jangan ikut!” Aku sempat membantah dan kami debat. “Kalau lu mau hidup lama, jangan ikut! Jangan sok jagoan! Gua abang! Gua yang ambil keputusan!” Ia menamparku satu kali dan aku tak membantah lagi. Baku hantam kali itu memang bukan penyisiran biasa, tawuran siswa itu sengaja direncanakan dan melibatkan aliansi.

Abang mati hari itu. Hitungan jam, para pembunuhnya ditangkap, dua mati di dalam penjara, beberapa dihukum berat, beberapa bebas setelah beberapa tahun. Sekali waktu aku sempat melihat seorang di antara mereka di depan sekolahku, aku ingin balas dendam, sialnya, aku tak cukup jago untuk melawan belasan orang; aku yang hampir mati. Luka-luka tusukan pada separuh lengan kiriku yang harus kututupi dengan tato adalah hasil peristiwa itu.

Puas mengamati foto kecil Almarhum, perhatianku lalu berpindah pada adik perempuanku. Aku tersenyum sendiri melihat wajah imut adik kecilku itu, aku ingat saat foto itu diambil dia baru saja menangis karena dia memang tak pernah suka difoto. Ya, aku merindukannya. Mengapa pula dia harus mencintaiku lebih dari sekadar kakak? Kami memang tak berhubungan darah, tapi aku tak bisa. Lebih baik hubungan kami putus untuk sementara sampai dia menemukan seseorang yang tepat untuk mendampinginya lalu memperbaiki hubungan kami yang dulu. Aku tahu yang terbaik untuknya, dan pria itu bukan aku. Almarhum Abang kami pun kukira akan setuju dengan keputusanku, aku yang harus ambil keputusan. Aku yang memimpin. Namun, sampai selesai kuliah, belum juga tampak tanda-tanda dia memiliki seorang kekasih. Aku bisa tahu karena aku rutin mengunjungi tempat tinggalnya di luar negeri secara diam-diam atas perintah Om Jenderal. Aku mengenal beberapa tetangganya di sana. Dan kata mereka, “Belum ada pria yang datang ke tempatnya.” Semoga segera.

Puas menatap kecil foto kami, mataku berpindah pada foto pernikahan papa dan mama. Dan saat itu, semakin banyak hal yang berseliweran di kepalaku. Aku butuh Aina.

Lihat selengkapnya