Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #27

Jurnal

SAAT MEMBUKA PINTU apartemen, aroma itu, aroma yang selalu menusuk ujung hidungku setiap kali berada di ambang pintu apartemen Aina, masih terasa. Penampakan ruang tengah apartemen tetap sama seperti saat kami merayakan setahunan dengan mogok bicara Aina. Satu-satunya yang berubah adalah adanya rak buku dekat piano. Tapi, aku merasa seakan sudah lama sekali tak datang ke tempat itu, aku seperti berada di suatu tempat masa kecil yang dulunya amat kuakrabi dan baru kukunjungi lagi. Dan ketika aku menatap piano elektrik di mana ada papan catur 64 kota hitam-putih di atasnya, perasaan sisa-sisa kenangan itu semakin kuat dan terasa akan menjadi kenyataan. Seolah sebentar lagi aku tak akan kembali lagi ke situ.

Aku langsung menuju kamar dan membuka lemari pakaian Aina. Setelah membongkar dengan hati-hati karena takut diceramahi, tak kutemukan daster rumahan yang Aina minta. Aku terus membongkar isi lemari itu dari bagian atas sampai bagian paling bawah, tetap nihil. Namun, di rak dasar, aku sempat tertegun karena menemukan sajadah, mukena, dan sebuah Kitab Suci. Dugaanku benar, Aina memang memikirkan imannya meski aku tak pernah melihatnya salat.

Sesaat lalu, kuraih saja setelan tidur Aina biasanya, sebuah celana pendek tipis dan baju tipis berlengan sejari. Sesudahnya, aku menuju ruang tengah untuk mengambil laptop dan iPad di atas rak buku. Saat itu, perhatianku sempat ditarik oleh buku-buku pada rak itu, aku ingin tahu buku apa Aina rencanakan untuk dibaca dalam waktu dekat. Biasanya buku-buku yang Aina baca sepanjang tahun akan tersimpan di rak tersebut, kemudian saat tahun berganti Aina akan memindahkan mereka ke perpustakaan kecil di rumah orang tuanya. Berjejer rapi bebebapa buku kesehatan, psikologi, pengembangan diri, biografi, novel misteri dan roman kota. Serta beberapa judul buku komedi—feminisme dan pasifisme. Kebanyakan buku-buku itu masih dibungkus plastik dan belum tersampul, artinya aku belum membacanya, artinya Aina belum membacanya. Aku harus membaca semua buku yang Aina baca, kecuali buku-buku bertema kedokteran. Katanya, “Mas, kamu kan bisa membaca cepat dan kamu tahu selera aku. Jadi, kamu ‘baca buku itu duluan. Kalau kamu bilang cocok, baru aku baca.” (Sl: sebenarnya, kecepatan membacaku mungkin sedikit saja di atas rata-rata. Tapi, karena aku sempat bercita-cita menjadi penulis dan aku sudah membaca cepat ribuan buku, maka aku tahu bagian mana saja yang perlu dibaca. Aku tak membaca semua bagian buku-buku itu. Jika itu novel, aku akan membacanya dari bab atau halaman terakhir. Dan aku tahu selera Aina, sebuah cerita harus berakhir bahagia; Aina benci novel-novel tragis jika bukan novel misteri. Aina sangat mencintai novel misteri serta suspense; Aina sangat mengagumi Agatha Christie, dan sudah membaca banyak sekali novel sejenisnya. Namun, Aina kadang berlebihan soal fiksi. Selain tidak menyukai cerita-cerita tragis atau yang berakhir tragis, Aina terlalu menghayati cerita sehingga menganggap apa yang dibaca adalah kenyataan. Misalnya, Aina hanya tahan membaca kisah Raskolnikov sampai adegan anak-anak yang ditelantarkan, dan setelah itu Aina tak mau lagi membaca Dostoyevsky serta novelis Rusia lain).

Meski jenis yang kami minati berbeda dan kami sering berdebat karena buku, buku adalah salah satu hal yang menyatukan kami dan membuat kesan mulaku pada Aina berbeda dari kebanyakan wanita. Sepengalamanku, sangat sulit mencari sebaya yang membaca di negeri dengan minat baca hanya setingkat di atas negara antah-berantah Botswana. Lebih-lebih, Aina memperkenalkanku kepada banyak penulis roman kota (metropop), serta beberapa penulis Korea dan Swedia yang luar biasa. Dan aku membaca hampir semua novel Agatha Christie serta menyukai penulis itu karena Aina.  

Sementara memperhatikan judul-judul buku di rak tersebut, ada satu buku menarik perhatianku, bentuknya berbeda dari yang lain. Setelah menariknya keluar dari buku-buku lain, benar, benda itu adalah jurnal atau buku harian. Cukup tebal, mungkin lebih dari lima ratus lembar, sampul depan dan belakangnya berwarna kuning keemasan. Awalnya kupikir benda itu adalah buku catatan kuliah, sebab Aina sangat cakap menjaga benda masa silam; beberapa yang aku tahu, Aina masih menyimpan semua buku catatan pelajaran sejak SMP, semua ponsel yang pernah dimiliki, bahkan rapor saat TK. Namun, saat membuka halaman pertama benda yang kukira buku catatan kuliah itu, aku disambut oleh sebaris tulisan tangan Aina:

 

Untuk Mas Billy

 

Selama beberapa saat aku tertegun memandangi halaman pertama tersebut. Muncul keraguan menyusuri halaman berikutnya sebab catatan-catatan itu adalah hak pribadi Aina, tapi keingintahuanku lebih kuat. Setahuku Aina tak pernah menulis. 

Halaman selanjutnya menyambutku:

 

Kita tahu,

Perjalanan ini sudah sangat jauh

Namun, tak tentu kita akan ke mana

pulang ke rumahku atau ke rumahmu

 

Aku tahu,

cinta selalu menuntut

untuk digapai dan disemai.

Tapi, sedang bersamamu

baru saja aku tahu,

cinta kadang menuntut keikhlasan 

untuk melepaskan

 

Dan perlu kamu tahu,

aku pernah bahagia

Lihat selengkapnya