SAAT MAMA BISA pulang, baru beberapa hari di rumah, mama harus dirawat lagi karena keteledoranku. Aku membelikan Fanta kesukaan mama, dan sakit mama kambuh.
Ketika datang ke rumah sakit, Aina langsung memberi seminar kesehatan untukku di depan mama. “Mas, kamu, ya, aku kan ‘udah bilang, tolong jagain makanan. Jangan ngasih yang nggak boleh. Kejadiannya kayak sekarang, kan?” Dan walaupun tak bicara kepada mama, jelas sekali, hari itu seminar kesehatan itu juga untuk mama. Dan kami, dua orang yang menghadiri seminar itu, tak berkutik. Saat itu Aina seperti kakak tertua yang dihormati di dalam keluarga kami. Sesaat setelahnya, saat Aina permisi keluar untuk menerima telepon, mama berbisik, “Billy, nanti kalau mama minta apa-apa, jangan bilang Aina.” Mama kelihatan mulai segan kepada Aina dan seminar kesehatannya. Selanjutnya, apa-apa yang menyangkut kesehatan, mama pasti bilang, “Coba tanya Aina dulu. Jangan sampai Aina marah.”
Hubungan mama dan Aina semakin mesra. Aina sudah diterima sebagai calon menantu. Ketika Aina tak datang menjenguk mama, mama tak pernah bertanya lagi, “Aina kenapa nggak ke sini lagi?” Mereka sudah berkomunikasi tanpa perantara.
Aku sangat senang meski keraguan itu belum juga pudar. Ya, entah kenapa saat itu aku masih merasa tak mungkin menjadikan Aina sebagai istriku. Keraguan itu bukan tentang Aina, Aina sempurna, dan aku sangat-sangat mencintainya, tapi keraguan itu muncul begitu saja dari dalam diriku. Saat-saat itu aku sempat bertanya, mengapa? Apa yang membuatku merasa mustahil bisa menikahi Aina? Dan salah satu jawabannya datang sehari kemudian, pada suatu malam ketika Aina menjenguk mama.
Malam itu, saat Aina sedang menyuapinya, mama merusak suasana dengan pertanyaan dan ceritanya. Pertama, mama melebih-lebihkan Rumah Sakit Bersalib, lalu bertanya tentang Kota Solo serta gereja-gereja di sana dan adakah kerabat Aina yang seagama dengan mama. Itu semua adalah bentuk lain dari permintaan terselubung mama agar Aina mau ikut pulang ke ‘rumah kami’. Aku tak suka sikap itu.
Begitu Aina meninggalkan kami, aku langsung duduk di sisi tempat tidur lalu memijat jari-jari tangan mama. Sesaat berpikir, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, aku berkata dengan ragu-ragu, “Mama, ... kalau ada Aina, ... tolong jangan pernah singgung tentang agama.” Aku memilih setiap kata dengan dengan sangat hati-hati, aku bahkan berkata dalam bahasa Indonesia yang terdengar baku, bukan dalam dialek Tobelo seperti biasanya.
Air muka mama berubah. “Kamu nggak akan meninggalkan mama, kan!” Kalimat mama saat itu bukan pertanyaan, tapi perintah.
“Maksud mama?”
“Kamu nggak akan ikut Aina, kan?”
Aku diam. Mama juga diam sebentar, lalu, “Ingat papa, papa mati karena—”
“Ma, aku paham!” Kusanggah. Aku tahu arah pembicaraan mama selanjutnya.