SEBUAH MOBIL BIRU asing sedang terparkir di pekarangan rumah saat aku tiba, kutengok jam tangan, hampir setengah dua belas malam, siapa pula manusia laknat yang bertamu tengah malam? Dan mengapa pula gadis yang tinggal dan membantu mama di rumah tak menyuruh tamu itu pulang? Aku kesal bukan main. Pikiranku sedang penuh, aku harus bangun cepat esok pagi tapi harus melayani tamu larut malam.
Aku terkejut bukan main ketika R. keluar dari mobil biru itu dan menyambutku. Masih ada sisa-sisa air mata yang belum sempat dibersihkan pada wajahnya, dan rambutnya agak acak-acakan. Dia hanya mengenakan daster malam itu. Langsung kuinterogasi, “Kamu ngapain di sini, Ti? Pakai daster lagi. Kenapa ‘nunggu di mobil? Ini mobil siapa?”
“Mama mana?”
“Mama di rumah sakit. Kamu nggak tahu?”
“Sejak kapan? Kok mama nggak bilang? Biasanya mama selalu minta dijenguk. Terus, mama sama siapa di rumah sakit?”
“Sama Aina.”
R. tak menjawab, air mukanya semakin layu.
“Kamu ngapain di sini, Ti?”
“O, ya, ‘udah, aku balik kalau ‘gitu.”
“Sini dulu, Ti.” Aku langsung mengajaknya menuju teras, dan kami duduk tanpa bicara selama beberapa saat. Sampai kemudian aku yang memecah hening. “Ada apa, Ti?”
R. tak langsung menjawab. Dia tetap diam seraya menatap kosong ke pekarangan. Aku sangat mengenalnya, meski kami sudah berpisah dan jarang komunikasi selama beberapa tahun, aku yakin, R. masihlah perempuan yang sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Karenanya, aku tahu dia sedang dalam masalah besar malam itu. “Ada apa, Ti?” Kuulangi pertanyaanku.
“Aku mau pisah sama suamiku.” Dia berkata tanpa sungkan.
Kukeluarkan kotak sigaret dari dalam saku dan menjulurukannya kepada R. “Kamu bikin ulah apa lagi?” Kataku dengan canda, tak berharap pertanyaan itu dijawab.
“Aku ‘udah nggak ngerokok sejak ‘nikah,” katanya, tapi menerima pemberianku.