Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #37

Catur

DI RUMAH OM Jam Tangan masih ada mobil asing yang parkir, dan persis kedatanganku, tuan rumah dan tamunya keluar dari rumah. Tamunya pergi, tuan rumah tetap di teras menatapku keluar dari mobil. “Ngapain kau di sini, Anak Muda?”

“Aku ‘nginap di sini, ya, Bang?”

“Ya, ‘udah. Kebetulan aku sedang napsu main catur sampai besok pagi.” Orang tua ini memang seperti kawan sebaya, ia bahkan tak bertanya mengapa aku harus menginap di rumahnya.

Kami duduk di pendopo samping rumah, bersila, ditengahi papan dan jam catur, kopi, dan asbak. Om Jam Tangan (putih seperti biasa) dan aku (hitam).

(1. e4 e5 2. Nf3 Nc6 3. Nc3 Bb4 4. Nd5 Nf6 5. Nxb4 Nxb4 6. c3 Nc6 7. d4 Nxe4 8. dxe5 d5 9. exd6 Qxd6 10. Qxd6 Nxd6 11. Bf4 O-O 12. Bd3 Re8+ 13. Kd1 Ne4 14. Bxe4 Rxe4 15. Bxc7 Bg4 16. Re1 Rxe1+ 17. Kxe1 Bxf3 18. gxf3 Re8+ 19. Kd1 Ne5 20. f4 Nf3).

Sepanjang langkah-langkah di atas, Om Jam Tangan mengoceh seperti biasanya. “Kumakan kau malam ini, Anak Muda.”

“Aduh, langkahmu salah itu, Billy.”

“Lima langkah lagi sekakmat ini, Anak Muda.”

“Habis kau, Anak Muda.”

Ia tak pernah bisa mengalahkanku dalam catur, jadi ia selalu bermain dengan mental dan mulut. Tapi karena aku sudah ‘biasa, senjatanya itu tak mempan lagi. Walaupun daerah asalnya memiliki monumen catur dan menghasilkan banyak pemain catur kelas wahid di negeri ini, kemahiran orang tua yang sudah bermain berdekade-dekade itu hampir mirip seperti kemampuan Aina, malah Aina sedikit lagi akan lebih baik darinya. Dan pada langkah ke-21, aku langsung tahu ia membuat langkah blunder, kesalahan fatal, (21. h3 Re1+ 22. Kc2 Rxa1), dan ia menyerah. Seketika ia diam karena kalah, dan aku tetap tenang, meski menang.

“Kenapa kau malah murung, Anak Muda?”

Aku menggeleng. Pikiranku sangat banyak saat itu. Ada mama, Aina, dan R.

“Kulihat kau sering murung akhir-akhir ini. Mamamu baik-baik saja, kan?”

“Baik, Bang.”

Lihat selengkapnya