ESOKNYA, TIBA LAGI di Jakarta, aku langsung menuju Rumah Sakit Bersalib. Malam itu di ruang inap mama, ada tiga wanita, dua di antaranya manyun saat aku mencium mereka, dan hanya R. yang tersenyum, meski aku hanya jabat tangan dengannya.
“Ya, ‘udah, Aina pulang ‘aja. Mau ke Solo, kan? Istirahat dulu! Jangan lupa oleh-oleh dari Solo,” kata mama kontan.
“Aku juga, ya, Aina, oleh-olehnya.” R. mengangkat kedua alis.
Aina cipika-cipiki dengan kedua wanita itu, dan pergi menuju pintu. “Kita ke Solo malam ini?” Kataku, tapi Aina terus saja melangkah tanpa menjawabku. Sampai Aina hilang dari ruangan itu, aku tetap berdiri seperti orang tolol yang bingung apa yang sedang terjadi, seolah aku baru saja masuk ke sebuah ruangan dan ribuan mata di ruangan itu tertuju kepadaku.
“Mama sama Titi malam ini. Kamu ikut Aina ‘aja.” kata mama, menjawabku yang belum bertanya.
“Kamu ngapain diam ‘aja? Aina nggak bawa mobil ke sini, mobil dia di rumah, tadi dia ke sini sama aku,” kata R.
“Ma, aku ikut—,” kalimatku tak habis, mama memotong, “Aina ‘udah bilang kalian mau ke Solo. Mama sama Titi di sini.”
Aku segera menyusul Aina. Di mobil berdua, Aina hanya berkata saat mobil akan berjalan, “Ke apartemen dulu baru ke rumah kamu, aku ambil barang-barang dulu. Biar besok jalan dari rumah kamu ‘aja. Nggak akan buru-buru!” Seterusnya, sepanjang jalan Aina mogok bicara. Sesuai aturan emas, kudiamkan saja.
Baru saja masuk ke apartemen, Aina baru bicara lagi. “Kamu ‘udah makan malam?” Ketus. Persis intonasi sipir penjara.