Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #40

Rumah

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Kota itu tak berat nama, karena bagi banyak orang nama tengahnya melambangi roh yang dikandungnya. Katon benar, ada selaksa makna di kota itu, sampai-sampai mustahil mendeskripsikan siapa sebenarnya Yogyakarta; dia seperti Aina, Neruda pun akan angkat tangan bila diminta membuat ode untuk Yogyakarta. Datang saja ke sana dan rasakan sendiri, kota itu akan membuatmu serasa pulang ke pangkuan ibu. Kau datang dan kau pergi, tetapi Yogyakarta selalu meminjam sesuatu dari dirimu, sehingga saat kau jauh, kau merasa harus pulang lagi ke sana.

Kali itu, aku dan Aina tak dijemput mobil Om Jam Tangan dan aku juga tak menghubungi Kecere (seorang kawan yang biasa menemani kami di Yogyakarta). Tiba di bandara, aku langsung membawa Aina ke sebuah rumah. Rumah yang kubangun setelah boneka beruang itu kuberikan untuk Aina. Lantaran keraguanku pada Aina semakin besar saat itu dan sepertinya rumah itu tak akan memenuhi rencana mulaku membangunnya, maka aku hanya ingin menunjukkan kepada Aina bahwa rumah itu ada.

“Ini rumah siapa, Mas?” Aina tampak terpukau ketika kami berdiri di depan sebuah rumah cat silver dua tingkat.

“Ini rumah singgah teman aku. Kita di sini dulu, ya, aku bosan tinggal di hotel.”

Aina tersenyum senang melihat penampakan di hadapannya. Tampak depan rumah itu bergaya skandinavian yang aneh. Bagian depan lantai dasar hanya ada pagar, sedikit ruang, lalu pintu garasi yang lebar; bagian depan lantai dasar tak ada pintu depan atau jendela seperti kebanyakan rumah orang, benar-benar hanya pintu garasi dan tembok warna silver. Sementara itu, di bagian depan lantai dua terdapat sebuah balkon luas yang lebih pantas disebut teras dengan satu pintu dan satu jendela persegi panjang, begitu tampak depannya, selebihnya hanya tembok datar warna silver.

“Ini rumah? Pintu depannya di mana, Mas?”

“Ayo!” Kami masuk melewati pagar.

Pintu garasi kubuka, dan penampakan garasi itu terlihat, sejurus kutatap Aina, wajahnya aneh, entah Aina heran, tak percaya, atau terpukau, sulit kuterka, Aina tak berkata apa-apa. Lantai dasar adalah sebuah rubanah sekaligus garasi yang bisa jadi tempat parkir tiga mobil, tapi siang itu hanya ada sebuah motor. Ada sebuah tembok kaca yang membatasi garasi dengan pekarangan belakang yang luas di mana ada pendopo mini, kolam renang, dan taman kecil. Di garasi itu juga terdapat sebuah tangga melingkar menuju lantai dua. Kami naik.

Lihat selengkapnya