AINA YANG MEMBANGUNKANKU, “Mas, Mas, makan malam dulu,” sembari mengelus kepalaku. Dan ketika sadar, perhatianku langsung ditarik pintu balkon belakang, di luar sudah gelap.
Duduk berhadapan di meja makan, lantaran tak ada sendok dan garpu, kuminta Aina menyuapiku dengan tangannya seperti malam setahunan kami. Aina menolak. Kami debat. Tapi Aina menurut juga ketika aku berkata dengan niat bergurau, “Mama sering suapin aku, loh. Cuma kamu yang aku kasih kehormatan ini.”
“Awas, ya, pulang dari sini aku nggak dinikahin!”
Aku diam. Berpikir. Merasa bersalah.
Sesudah makan, Aina merengek agar kami pergi ke Bukit Bintang dan Hutan Pinus yang saat itu sedang heboh di jagat maya. Aku emoh. “Bentar lagi tengah malam, Mbak. Di atas pasti dingin banget. Besok aja, ya?”