UNTUNG SAJA KAMI tiba kembali di rumah sebelum hujan mendahului. Malam itu, agar impas, Aina membolehkanku beli bir dan menemaniku minum di teras belakang. Di pendopo mini, aku duduk, Aina terbaring sementara kepalanya pada pahaku, matanya terpaku pada buku The Adventures of Tom Sawyer. Tangan kananku memegang botol bir dan tangan kiri membelai rambutnya. Tak ada sigaret.
“Mbak, mama masih marah sama aku?”
Aina meletakan buku Mark Twain di sampingnya, karena sedang berbaring dengan kepala di pahaku, Aina sedikit menengadah dan bola matanya kompak terangkat mencari wajahku. “Aku ‘udah ngomong. Mama ‘udah nggak marah, cuma masih kesal ‘aja katanya.”
“Mama bilang ke kamu alasan kenapa mama marah?”
“Nggak. Mama cuma bilang kalau kamu nggak bisa diatur. Mas, ada apa, sih? Aku penasaran. Bukan karena aku, kan?”
Aku diam.
“Mas!” Aina bangkit dan duduk di sampingku. “Aku nggak boleh tahu?”
Mulutku tetap terkunci dan kami saling tatap cukup lama. Kuberikan botol di tanganku, Aina menggeleng. “Mas, kamu kan tahu aku, aku selalu kepikiran dan penasaran. Bukannya aku ‘maksa kamu buat cerita, tapi aku ngerasa kamu sama mama berantem, karena aku.”
Aku berpikir sebentar untuk menimbang kata-kata seraya menatap taman kecil di sekitar kami, aku belum terbiasa terbuka tentang ketuhanan kepada Aina. Tapi setelah mengembuskan satu napas berat, aku mulai bercerita tentang malam pengakuan dan penghakimanku, tentang ketidakbertuhananku. Tak ada yang kututupi kecuali permintaan mama untuk ‘membawa’ Aina dan cerita tentang papa. Selama bercerita, aku tak menatap Aina; dari ekor mataku Aina terus memandangiku, mendengar dengan penuh perhatian tanpa memotong cerita panjangku. Sesudah aku bicara panjang lebar, tak ada keterkejutan seperti yang mama tunjukkan. Kami diam untuk sebentar, Aina belum memberi pendapatnya, seperti biasa, lepas aku berbagi cerita tentang masalahku Aina biasanya memberi jeda sebelum memberi pendapat.
Setelah aku menarik satu napas panjang dan mengembuskannya kedua kalinya, aku baru berani menatap Aina yang masih setia memandangiku. Aina mengelus bagian belakang tubuhku. “Mas, boleh aku kasih pendapat?”
Tak kuhiraukan pertanyaan itu, malah kutenggak botol itu lagi dan tanganku mulai membelai rambutnya, entah untuk apa, aku hanya takut kehilangan wanita yang duduk di sampingku. “Maaf kalau aku bukan imam yang kamu mau, Aina.” Tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, alkohol sudah sudah melebur dengan darahku.
Aina meraih tanganku, dua tangannya menggenggamnya, lalu meletakkan tangan kami di pahanya. Sementara itu, kutatap matanya sungguh-sungguh. “Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?”
Aina tersenyum lalu berkata dengan lemah lembut, “Boleh aku kasih pendapat, Mas?”
Aku mengangguk.
“Mas,” Aina mengeratkan genggamannya. “Aku sayang sama kamu bukan karena keyakinan kamu apa. Kita ‘udah sejauh ini, hal-hal kayak ‘gitu bukan masalah lagi buat aku. Lagian, kamu kan yang selalu ajarin aku supaya menghargai pilihan orang lain?”
Tanpa bicara, aku melepaskan telapak tanganku yang lain dari kepala Aina kemudian menaruhnya di atas genggaman kami, keempat tangan kami bertumpu jadi satu. “Makasih.”
“Aku kenal kamu lebih dari tiga tahun. Aku nggak kaget. Apalagi, keadaan kita mungkin sama, mungkin juga nggak.” Aina diam sebentar. “Aku—, Eh ..., aku nggak punya kata-kata buat jelasin ke kamu, Mas.”
“Maksudnya?”