Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #44

Tom

AKU MENYUSUL AINA sampai ke lantai dua, dan saat dekat ranjang, aku berhasil menangkap kedua pinggangnya, membantingnya ke atas ranjang lalu mulai mendekapnya erat, seolah akan meremukkan tubuhnya seraya menggelitik perutnya dan menggigit lengannya; Aina berusaha melepaskan diri dan terus berteriak, “Tolong! Tolong! Geli, Mas! Geli, Mas! Awas, ya!” Jadilah kami bergulat di atas ranjang seperti bocah. Saat itu, di luar hujan terus bekerja.

Lantaran Lampu belum sempat dinyalakan, ruangan luas itu remang, sumber cahaya hanya dari lampu balkon belakang. Dalam keremangan ruangan luas, kami tertawa puas. Setelah berhasil melepaskan diri dengan susah payah, Aina duduk di atas perutku, menekan dadaku dengan satu tangannya agar aku terbaring, lalu dengan tangan yang lain berusaha mencari cara menggelitik pinggangku. Karena tenagaku lebih darinya, aku berhasil memegang kedua pergelangannya dan menariknya agar tubuhnya rebah di atasku, dadanya menindih dadaku. Kedua pergelangannya terkunci genggamanku.

“‘Nyerah?”

“’Udah, Mas, ampun! Aku capek.” Aina terus tertawa.

Kami berhenti, tapi Aina tetap rebah di atasku. Setelah itu, entah bagaimana, saat wajah kami sedang beradu, Aina menutup mata dan mencium mesra bibirku dengan kedua pergelangannya tetap terkunci dalam kepalan tanganku. Dua tiga menit lepas, saat kulepaskan pergelangannya, Aina pun melepaskan pagutan bibirnya lalu memegang kedua pipiku dan tersenyum, saat itu giliran mata kami beradu dalam remang, tanpa bicara, dan hidung kami bersentuhan, giliran mereka yang berciuman. Saat itu, meski matanya agak menyipit, tapi cahayanya tetap berpijar; aku terpesona dengan keindahan dua bola matanya, ibu memang tak salah memilih nama untuk anak perempuannya. Waktu seakan berhenti untuk beberapa detik agar memberiku waktu memuji anugerah itu, seolah di dalam semestaku hanya dua bola mata dan segala tentang pemiliknya, aku diikat cinta sedemikian rupa saat itu. Benar kata orang jika cinta selalu masuk lewat mata lalu berakhir pada perjumpaan hati, aku mengalaminya, berkali-kali, tapi rasanya masih saja seperti pertama kali. Bola mata itu, seolah mustahil bagiku memujanya hanya dengan dua puluh enam aksara, mereka adalah jawaban untuk semua pertanyaan hidupku.

Sedang aku mengagumi matanya, dia yang masih menindihku dan tetap memegang kedua pipiku, menutup matanya lagi, dan menciumku untuk kedua kalinya. Ciumannya begitu erat, begitu dalam, sampai pada akhirnya begitu liar daripada sebelumnya. Kali itu, bibir kami betah berlama-lama, bersamaan, kedua tanganku mulai kurang ajar, mereka pergi menjelajahi berbagai pegunungan dan lembah, menyisir setiap lekuk, bahkan di beberapa tempat mereka lancang menyelipkan diri ke dalam sana, mencari sesuatu. Aku dapat merasakan setiap sentuhan itu dengan jelas, seolah kedua tanganku bermata dan berlidah.

Binatang celana sudah jadi batu saat itu, tapi karena takut kelepasan, kuhentikan gerak bibir dan lidahku lalu coba mengangkat kepalanya agar menjauh dari kepalaku. Namun, kepalanya dibuat keras, tak ingin lepas, bibirnya terus mencari lidah yang telah kusembunyikan di balik gigi; dan karena dia tak kunjung menemukan lidahku, salah satu pahanya malah menekan si binatang celana dengan pahanya, lalu tangan kanannya meraih tangan kiriku untuk diletakkan pada dua buah cintanya yang sedang menekan dadaku. Tanpa suara, dengan isyarat dia memintaku meremukkan buah cinta itu dengan telapak tanganku. Kuturuti, tanganku yang kurang ajar membelainya dahulu, menekannya lembut, lalu meremasnya, pelan dan mesra. Dia mendesis dan menggigit lembut bibir bawahku. Lidahku keluar lagi dan ciuman kami liar lagi.

Tingkahnya amat ganjil malam itu, seolah terus memancingku agar melakukan sesuatu. Karena merasa ditantang, aku langsung bangkit dari pembaringan tanpa melepaskan bibir kami, dia mengikuti dengan duduk di pangkuanku, kedua tangannya lalu bekerja melepaskan kausku, sesudahnya mereka melingkari leherku. Dia benar-benar berbeda malam itu. Dia yang mengendalikan semuanya. Dan dia juga membimbing tanganku yang kurang ajar itu, agar berada di balik kausnya, dalam ketukan detik saja tanganku telah berada di dalam baju lewat bagian belakang tubuhnya, tangan kurang ajar itu tak membuang waktu, mereka langsung menjelajahi tulang punggung, pinggang, dan kawan-kawannya. Saat tangan kurang ajarku sedang dalam perjalanan menuju bagian bawah, dekat paha ...

POOM!!!

Gelegar guntur diikuti kilat membuat kami tersentak, bibir kami seketika saling melepaskan.

Lihat selengkapnya