BEGITU AINA TERLELAP, aku bangun dari ranjang dan pergi ke balkon belakang untuk ‘ngudut sekaligus mencari ilham cerita untuk memenuhi permintaan Aina. Hujan sudah berhenti saat itu, tapi baru saja dua sigaret kupuntungkan, gerimis datang lagi. Dan saat sedang menatap butir-butir gerimis yang jatuh membasahi daun-daun, aku teringat Om Jam Tangan. Pria tua dan macam-macam perumpamaannya itu—setahuku—tak pernah membaca fiksi. “Membaca novel itu buang-buang waktu, Anak Muda. Kalau kau mau menghayati hidup dari cerita orang lain, cakap saja sama mereka. Pengalaman hidup setiap orang adalah karya sastra yang nggak ditulis. Saat aku cakap sama orang, itu waktunya aku ‘baca’ novel.” Itu jawabannya saat kutanya mengapa ia tak membaca novel. Meskipun begitu, amat sering muncul perumpamaan tak terduga darinya. Lima indera manusia paling sering jadi landasnya. Sejenak, aku coba menjadi pria tua keparat itu untuk menemukan kerangka cerita yang kuniati akan berlandas pada hujan dan lima panca indera.
Hujan bisa terlihat, tentu. Hujan bisa teraba atau terasa, tentu. Hujan bisa terkecap, tentu; rasanya hambar, kadang manis. Hujan bisa terdengar, tentu; hujan lebih nikmat didengar daripada dilihat. Dan hujan bisa tercium, meski hujan barangkali tak memiliki aroma, banyak benda yang bisa menjadi perantara aroma hujan, petrikor lahir karena tanah jadi perantaranya. Memikir-mikirkan hujan, aku teringat puisi, aku teringat Sapardi, dan aku teringat papa. Sekian saat lalu, kerangka ceritaku akhirnya terbentuk. Namun, kerangka cerita itu akhirnya hanya tinggal sebagai rangkaian di dalam kepala, tak pernah kuwujudkan menjadi cerita pendek utuh dan berakhir di tangan Aina.
Ada banyak sebab yang membuat sebuah kerangka tak pernah jadi cerita utuh, dan setahuku ada macam-macam sikap penulis berkerangka cerita terhadap kemandekan kerangka ceritanya. Untuk penulis A, ia akan berusaha mati-matian agar cerita tetap pada kerangka yang sudah dipatok sejak mula, dan saat ia merasa gagal memahat sebuah kerangka sebagaimana mestinya, ia akan berhenti di tengah jalan. Si penulis B, agak taat pada kerangka awal yang dirancangnya tapi juga membuka diri pada berbagai kemungkinan, bila diperlukan ia akan mengubah kerangka di tengah jalan, sehingga cerita biasanya berakhir pada tempat yang tak dibayangkan sejak mula. Sedangkan penulis C, ia menulis kerangka, tapi kerangka bukan hal yang penting, kadang cuma sebagai pemantik, ia membiarkan cerita bergerak seenaknya dan para tokoh bertindak sesukanya, bahkan cenderung terlalu liar dan tak tahu diri. Pada akhirnya, si penulis C tak lagi punya kuasa atas ceritanya, berakhirnya di mana pun cerita itu, ia tak peduli lagi.
Jika menghadapi sebuah kerangka cerita, aku sendiri biasanya menjadi penulis C, aku kurang suka cerita yang berlandaskan pada ‘Karena A, maka B, ujungnya C’, apalagi cerita itu dipatok sedemikian rupa agar sesuai dengan teori pembabakan yang dipakai selaksa penulis. Aku percaya, kerangka cerita sama dengan rencana manusia, tak selalu bergerak pada jalur-jalur yang dibayangkan. Namun, alasan aku tak mewujudkan cerpen berdasar ilham dari hujan dan lima panca indera, adalah bukan karena cerpen itu bergerak terlalu liar saat aku menuliskannya, melainkan perjalanan aku dan Aina yang bergerak di luar kerangka yang aku—atau mungkin kami—telah patok dalam kepala masing-masing, sehingga aku tak pernah punya kesempatan untuk menjelmakan kerangka itu menjadi cerpen yang kujanjikan untuk Aina. Sebab, setelah Yogyakarta lalu Kota Solo, aku sempat kehilangan Aina.