PAGI 07.14, dan ujung kepala matahari baru saja menengok di timur.
Sebelum menuju Kota Solo, kami singgah di sebuah toko roti untuk sarapan. Suasana amat menyenangkan, Aina melayaniku penuh kasih sayang dan tanpa larangan. Sampai kemudian, saat sedang nikmat-nikmatnya mengunyah roti sambil menyeruput kopi, Kak Y. mengirim pesan kepadaku, bertanya tentang sepatu lari itu. Dan tololnya aku, kudiskusikan soal Kak Y. dengan Aina, kutanya pula, “Mbak Y. ini belum punya pacar, ya, Mbak?” Aku tak bermaksud apa-apa, niatku untuk memancing naluri gunjing Aina, tapi Aina malah menjawab. “Sejak kapan kamu akrab sama MBAK itu?” Kata MBAK diberi tekanan sedemikian rupa, seolah membentakku. Aku sadar, seharusnya kugunakan kak bukan mbak. (Sl: orang-orang konservatif agak sensitif soal panggilan sayang).
“Cemburu lagi?” Aku terkekeh.
“Nggak,” katanya, tegas. Tapi, “Kemarin, ngobrolin apa kalian?”