DI SOLO, DI rumah keluarga besar Aina, tempat tinggal Mbah (ayahnya ibu Aina), semua anak, cucu, cicit hadir. Keluarga besar itu biasanya hanya berkumpul saat Hari Raya, tapi karena tahun itu beberapa anggota keluarga akan berangkat ke Tanah Suci, maka acara kumpul keluarga tahunan dipercepat saat ulang tahun Mbah. Aku diterima dengan baik oleh Mbah, Ibu, Pakde, dan para orang tua Aina yang lain. Namun, di antara para orang tua itu, hanya ayah tiri Aina dan Mbah yang tampak gembira dengan keberadaanku. Sejak tahu keyakinan di KTP-ku, kedua orang tua itu selalu mengucapkan selamat natal kepadaku dan tampak tak masalah dengan hubunganku dengan anak mereka. Hubunganku dengan ayah tiri Aina menjadi dekat karena sepak bola, beberapa kali kami pergi bersama menonton Timnas Indonesia.
Sedang Mbah, seorang yang paling dihormati di dalam keluarga, memiliki kedekatan denganku karena banyak hal. Aku mengagumi beliau. Mbah ‘hanya’ seorang wartawan, tapi di tengah keterbatasan, beliau berhasil menyekolahkan kedua anaknya; anak tertua beliau, Pakde, bisa sekolah sampai jadi dokter, dan anak kedua, ibunya Aina, bisa bekerja di perusahaan asing kemudian menjadi pengusaha yang sukses. Lebih-lebih, separuh cucu-cucunya juga sudah berhasil. Mbah pernah cerita, istrinya (Mbah Putri atau Uti) bercita-cita agar keturunannya ada yang menjadi dokter, dan cita-cita itu terwujud. Uti sangat bangga pada profesi Pakde dan Aina, karena dalam pikiran sederhana Uti yang hanya sekolah sampai setingkat SD, seorang dokter adalah malaikat. Sementara Mbah sendiri tak menyangka kedua anaknya bisa berhasil di Jakarta dan cucu-cucunya tumbuh menjadi orang berhasil.
Sejak kematian sang istri, Mbah hanya tinggal berdua di rumah besarnya dengan seorang pria yang usianya juga sudah sepuh, pengikutnya yang sejak puluhan tahun lalu sudah membantunya membuat patung. Aku kadang kasihan melihat beliau, Mbah kelihatan kesepian pada hari tua yang beliau habiskan hanya dengan berkesenian—mematung atau melukis, membaca, dan bermain catur. Kadang, saat kami sedang bermain catur dan melihat beliau sedang berpikir keras, lipatan kulit pada wajah beliau, tubuh yang sudah agak bungkuk, rambut serta janggut yang sudah benar-benar putih, putih menyala, muncul rasa iba di hatiku. Karena itu, aku dan Aina selalu menyempatkan waktu mengunjungi beliau di Solo, dan jika Aina tak bisa, aku pergi sendiri walaupun tak sampai sehari di rumah beliau. Mbah tak pernah datang ke Jakarta dan emoh tinggal di Jakarta, alasannya sederhana, beliau takut naik pesawat atau kereta.
Aku tak tahu alasan utama aku bisa dekat dengan Mbah, mungkin karena buku, politik, seni, dan catur. Meski begitu, pandangan sastra dan politik kami jauh berbeda. Kami sering berdebat tentang itu. Beliau anti-pemerintahan militer dan anti-Pak Harto. Mbah adalah pengikut setia Partai Banteng karena kesetiaannya pada Bung Karno. Sementara soal sastra, terlalu banyak perbedaan kami. Sebelum bertemu lagi pada ulang tahun beliau kali itu, kami sempat berdebat cukup panjang tentang Pram.
Mbah adalah salah satu sepuh ‘nyentrik yang pernah kutemui, setiap hari beliau hanya mengenakan baju dan celana lusuh yang penuh cat, sepanjang hari selalu menempel sigaret yang dilinting sendiri, dan jarang menggunakan kendaraan bermotor ke mana-mana, Mbah lebih suka jalan kaki atau bersepeda. Mungkin karena itu, walaupun agak bungkuk, kekuatan beliau tetap prima pada usia yang cukup sepuh, dan tak pernah sakit (Sl: Mbah sering kujadikan instrumen pembelaanku saat Aina sedang ceramah tentang sigaret).
Lebih dari semua itu, yang paling kusuka dari beliau adalah prinsip hidupnya: “Jadi manusia, otak harus berdaya.” Karenanya beliau selalu memintaku mendebat pandangannya saat kami mengobrol. Saat kami selalu sepakat dalam sebuah obrolan, beliau akan bilang, “Obrolan kita kali ini membosankan, Mas.”
Semua anggota keluarga baru berkumpul mendekati jam makan malam; Mbak I. serta sepupu Aina lain baru tiba di Solo sore harinya. Malam itu, belasan manusia yang usianya beragam duduk lesehan di pendopo utama, dan kami serentak bangkit ketika Mbah datang. Malam itu, pada hari ulang tahunnya, Mbah berpenampilan agak berbeda dari biasanya, beliau bersarung dan berkemeja, serta menggunakan tongkat baru pemberian Aina atas nama kami.
Aina menolak usulku agar memberikan sebuah batu sakti dari sebuah pulau yang berkhasiat menenangkan badai. “Mbah cuma mau kado yang bisa Mbah pakai sehari-hari,” kata Aina. Aina tak tahu bahwa batu itu sangat Mbah inginkan. Lebih-lebih, aku dan Mbah penasaran dengan batu itu sejak lama. Konon, zaman dulu batu itu sering digunakan para nelayan saat melaut. Aku tak percaya hal-hal itu, aku hanya mencintai tradisi sama seperti Mbah, jadi diam-diam, aku sudah mencari batu itu dan sudah kudapatkan, dan malam itu kuberikan hadiahku tanpa Aina tahu. Aina sangat benci hal-hal itu, klenik katanya. (Sl: Aina Aneh. Lebih-lebih, Aina juga sepertinya tak percaya hantu. Orang Indonesia macam apa yang tak percaya hantu? Bukankah lebih dari separuh orang Indonesia seharusnya percaya Tu-han, maksudku han-tu?)
Tak ada acara apa-apa malam itu, kami hanya makan malam bersama lalu masing-masing mengucapkan selamat ulang tahun untuk Mbah. Semua orang mengucapkannya dalam bahasa Indonesia. Hanya Pakde, Ibu, dan aku yang bicara dalam bahasa Jawa. Aku berkata, “Sugeng ambal warsa, Mbah, mugi panjang umur. Mugi-mugi—.” lalu diam sebentar untuk mencari padanan kata Tuhan, takut salah sebut, “Mugi-mugi Gusti paring kesehatan, lan katentreman.” Aku takut salah menggunakan kata di depan ibu dan Pakde karena kemampuan bahasa Jawaku terbatas. Aku agak bisa menuturkannya (fasih mendengar, terbata bicara) karena sejak kecil istri Om Jenderal selalu bicara kepada anak-anaknya dan aku dalam bahasa Jawa Timuran. Aku baru memahami bahasa Jawa Tengahan setelah mengenal Mbah. Kemampuan berbahasaku itu juga yang mungkin jadi alasan Mbah menerimaku, karena semua cucu-cucunya, yang lahir dan besar di luar Solo dan tak pernah menetap lama di Solo, sama sekali tak bisa berbahasa Jawa, termasuk Aina yang selalu iri dengan kemampuan ber-bahasa Jawa-ku yang sebenarnya sangat terbatas.
Usai makan malam, para anggota keluarga dewasa tetap mengobrol di pendopo utama dan bocah-bocah di situ sibuk tak karuan, ada yang tidur, tertawa, menangis, dan berteriak. Tak ada yang menatap ponsel saat itu, Mbah benci melihat orang yang sibuk sendiri saat kumpul keluarga.
Saat itu, seperti biasa, agar memenuhi obsesinya Aina sibuk dengan para kemenakannya, sementara aku mengobrol dengan sepupu-sepupu Aina yang lain, kecuali Mbak I., ibu dari Miya si Aina mini yang pernah kuberikan boneka Dora the Explorer. Malam itu, kekecewaan Mbak I. kepadaku terasa sekali, dia sempat memintaku menyudahi hubungan dengan Aina tapi tak kuturuti. Sebelumnya, kami berhubungan baik, bahkan aku dan suaminya cukup dekat. Dulu, Aina sering mengasuh Miya dan kakaknya di apartemen dan aku cukup dekat dengan dengan dua bocah itu. Namun, hubunganku dengan keluarga kecil Mbak I. merenggang begitu saja setelah permintaannya yang tak sanggup kupenuhi. Hubungan Aina dengan Mbak I. pun tak lagi sama setelahnya lantaran Aina memilih tetap bersamaku. Malam itu pun Aina tak bicara dengan Mbak I.
Aku tak pernah tahu alasan di balik perubahan sikap Mbak I. kepadaku.
Kami duduk lesehan di pendopo utama itu sangat lama, beberapa tampaknya gelisah, mungkin sudah sangat ingin meninggalkan pendopo untuk menengok ponsel, tapi tak ada yang berani beranjak karena Mbah masih di sana. Kemudian, mendekati tengah malam, Mbah memanggilku untuk mendekat. Kami mengobrol seperti biasa, Mbah menggunakan bahasa Jawa sementara aku menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa kata Jawa. Saat aku bertanya buku apa yang sedang beliau baca, beliau menjawab, “Saya sudah baca ulang Bukan Pasar Malam, Mas. Itu bukan karya terbaik Pram.”
Aku mendebatnya dengan argumen yang sama seperti terakhir kali kami bertemu. “Mbah, itu karya terbaik Pram dan mungkin satu-satunya—,” belum sempat kuteruskan, Mbah membentakku. “Kamu salah, Mas!”
Semua orang yang ada di situ langsung menatap kami, tampak dari ekor mataku air muka mereka menunjukkan keheranan dan kekhawatiran. Hanya mereka yang bisa berbahasa Jawa dan Aina yang tampak santai. Mungkin malam itu beberapa di antara mereka baru pertama kali melihat Mbah bicara dengan intonasi tinggi. Kata Aina, Mbah sangat penyayang, selalu lembut pada cucu-cucunya karena kebanyakan mereka adalah perempuan dan mereka tak pernah melihat beliau marah, hanya aku yang pernah dibentak oleh Mbah, karena hanya aku yang berani mendebat beliau.
Mbah terus mempertahankan argumennya tentang Pram, tapi aku belum berani mendebat beliau secara terang-terangan di depan keturunannya. Barangkali mengerti, Mbah mengajakku menuju pendopo kecil di belakang rumah, dan kumpul keluarga pun bubar.
Percakapan kami malam itu soal banyak hal, termasuk soal Pemilu yang akan berlangsung. Kami berhadapan dan mengobrol, sampai sekitar jam dua pagi, Aina muncul. “Mbah, ‘udah, ya. Mas Billy harus cari hotel. Lagian, besok Mas Billy harus pulang.”
“Hotel?”
“Nggak ada kamar lagi di sini, Mbah.”
Mbah menatapku, lalu berkata dalam bahasa Jawa yang halus sekali agar mengajakku tidur di kamarnya. Aku sungkan pada awalnya, tapi karena Mbah memaksa dan bilang bahwa kita akan main catur di kamar, kuiakan permintaan beliau. Aina hanya planga-plongo saat itu, tak mengerti.
Begitu Mbah masuk ke dalam rumah, Aina langsung duduk di sampingku dan satu tangannya merangkul pinggangku, kami bersisian, tanganku merangkul bahunya. “Mbah ngomong apa?” Kata Aina lebih dulu. Mogok bicara kami yang berlangsung sejak pagi, usai begitu saja.
“Mbah minta aku tidur di kamarnya Mbah.”
“Mas, di kamar Mbah nggak ada kasur. Kamu mending ke hotel ‘aja.”