Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #50

Keputusan

AINA YANG MENGANTARKU ke bandara dengan mobil keluarga. Sejak keluar dari rumah Mbah, kami diam, perhatianku terpusat pada jalan, dan Aina menghadap keluar jendela. Aina belum bertanya tentang pembicaraanku dengan ibu. Aina mungkin tahu jawaban ibu tentang permintaanku, diamnya membuktikannya.

Aku yang memecah hening setelah kami diam cukup lama. “Aku makan dulu, ya, Mbak?”

Aina mengangguk. Aina tak protes ketika kami tiba di sebuah rumah makan cepat saji, tak ada seminar kesehatan. Seperti yang sudah, pembagian tugas kami adalah Aina memesan makanan sedangkan aku memilih meja yang akan kami tempati. Setelah aku duduk di dekat tembok kaca, aku mengamati sekitar. Tak jauh dari mejaku, terlihat seorang anak perempuan yang berusia sekitar lima tahun sedang disuapi ibunya. Aku tersenyum kepadanya saat kami bertemu mata, gadis kecil itu membalas dengan senyum yang tak sempurna karena mulutnya kembung, penuh nasi dan ayam goreng. Setelahnya, pandanganku langsung tertuju kepada Aina di sana, yang membelakangiku karena sedang berhadapan dengan si kasir. Aku berangan-angan bahwa anak perempuanku nanti akan sangat anggun bila ibunya adalah Aina. Hati kecilku terus memuji Aina selama itu. Sebuah angan-angan; yang hanya bisa ditatap, dikhayalkan, dan belum sempat termiliki seutuhnya, akan selalu dianggap tak berkekurangan. Laksana kesan pada gawai wahid ditanyakan kepada seorang yang sangat menginginkannya tapi sadar tak mampu memilikinya, maka apa lagi jawaban paling mungkin selain pujian picisan?

Selesai transaksi, Aina langsung menghampiriku, menarik kursi di hadapanku, lalu sibuk dengan ponselnya. Aku memperhatikannya dengan sungguh-sungguh: Aina murung tapi bibir kecil itu cerah sekali karena dipoles gincu tipis; riasannya, meski mungkin hanya sedikit polesan, terlihat sangat elegan; pipinya merona, membuat aku sempat membelai lalu mencubitnya. Aina tersenyum, lalu berkata dengan agak bergurau, “Kenapa, Mas? Apa dirimu terlalu mencintaiku?”

Aku tertawa. Dalam diam, tanganku terus membelai pipinya, aku takut kehilangannya, sangat. Aina tak berkata selama itu. Sekian detik mata kami saling tatap saja, tanpa bicara. Mata indah itu yang berkata dan aku mendengarnya, bahwa pemiliknya dan aku sudah lama jatuh dalam cinta, dan kami masih ada di bagian paling dalam, dan kami belum siap harus keluar dari sana. Yang mengiring diamnya kami adalah musik instrumental piano yang diselingi percakapan orang-orang di sekitar. Sejenak lalu, Aina kembali sibuk lagi dengan ponselnya, dugaanku untuk lari dari keheningan yang menempatkan diri di antara kami. Kubuang pandang lagi mengamati sekeliling, beberapa manusia secara berkelompok duduk satu meja, terlihat dari raut wajah, beberapa tampak riang dengan obrolan mereka, beberapa lagi tampak serius. Ramai sekali di rumah makan cepat saji hari itu. Setelah beberapa saat, perhatianku kembali kepada gadis kecil yang masih disuapi ibunya.

Betapa menyenangkan jadi seorang bocah. Makan dipilihkan, minum dipilihkan, baju yang dipakai dipilihkan, hingga nanti sekolah dasar apa yang akan dimasuki gadis kecil itu pun dipilihkan. Segala keputusan adalah pilihan orang tua, paling tidak persetujuan mereka. Mungkin saja makan di rumah makan cepat saji itu adalah hendak si gadis kecil dan kebetulan ibunya menyetujui. Namun, bagaimana jadinya besok atau hari-hari lain saat si gadis kecil ingin makan di rumah makan cepat saji tapi ibunya tidak bersepakat? Mungkin gadis kecil itu menangis karena kecewa, kemudian diberi permen, dan kekecewaan itu pun enyah. Tak ada perdebatan panjang lebar mengenai ketidaksetujuan tadi. Menyenangkan sekali jadi anak kecil! Bukan dalam arti keputusan hidup seorang diatur orang lain adalah menyenangkan, tapi menyenangkan karena persoalan setuju-tidak setuju dengan ibu hanya berkait dengan tempat makan, makanan, waktu tidur, atau remeh-temeh lain, dan bukan persoalan kebahagiaan panjang atau keputusan-keputusan berdampak panjang.

Menatap gadis kecil itu, aku merasa menjadi dewasa sangatlah tidak menyenangkan. Memanjang usia, makin susah bahagia, makin banyak pilihan berdampak panjang harus diputuskan, makin banyak ekspektasi perlu dipenuhi. Bila satu pilihan atau ekspektasi itu terhalangi dan mustahil digapai, apalagi karena orang lain, ekspektasi itu akan berwujud penyesalan kemudian, yang dibawa hingga napas terakhir diembuskan. Pendek kata, makin tua, makin manusia dekat dengan esensi kehidupan: penderitaan. 

Andaikata hari itu aku punya Tuhan, mungkin akan kudoakan gadis kecil itu agar bernasib baik dengan seorang laki-laki di masa datang, bahwa dia akan hidup sampai mati dengan pria pilihannya, tidak seperti aku dan Aina.

Lihat selengkapnya