Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #53

Mawar

AKU DAN OM Jam tangan tiba tepat waktu di sebuah gereja di selatan kota. Gereja tersebut tak terlalu besar, mungkin bersesuaian dengan jumlah jemaat, jumlah kursinya mungkin tak lebih dari lima puluh. Lantaran baru sekali itu aku menghadiri ibadah di sana, Om Jam Tangan banyak bercerita tentang gereja itu, bahwa ia dan mendingan istri sesekali menghadiri ibadah Minggu di gereja itu. “Kalau kami rindu dengan kampung halaman, kami biasanya datang ke sini. Aku dan istriku biasanya datang saat sore, karena ibadah sore di sini pakai bahasa daerah kami, kalau pagi seperti ini pakai bahasa Indonesia. Dulu waktu istriku masih hidup, aku jarang pergi ke gereja, tapi setelah istriku meninggal. Aku selalu datang ke sini setiap hari Minggu. Aku rindu dimarahi istriku kalau nggak ke gereja, Anak Muda.”

Selama ibadah berlangsung, Om Jam Tangan tampak khusyuk. Sementara aku hanya betah di dalam gereja sampai kira-kira pertengahan khotbah pendeta. Aku beranjak keluar menuju warung kaki lima terdekat untuk memaniskan bibir dengan sebatang sigaret. Di warung itu banyak sekali pria berpakaian rapi, sebuah pemandangan pada hari Minggu di sebuah warung dekat gereja yang sering kulihat.

Aku tetap di warung itu sampai ibadah selesai dan Om Jam Tangan menghampiriku untuk ‘ngudut bersama. Saat itu, baru kutanya soal wanita asing yang kutemui di rumahnya, wanita yang mengira aku sebagai anak Om Jam Tangan, wanita yang emoh kusapa Ibu, tapi Tante.

Tanpa menjawabku. “Kau ikut aku, Anak Muda! Sekarang! Sebelum kita dikejar hujan.” Kami pun berangkat ke suatu tempat tanpa diberi tahu akan ke mana, saat kutanya, Om Jam Tangan menjawab, “Nanti juga kau tahu. Kau menyetir saja. Nanti kuarahkan.” Aku tak terus bertanya. Kami sempat berhenti di salah satu ruko tua yang kelihatannya sudah berdiri—mungkin—sejak masa Bung Karno. Pria tua itu turun, masuk ke dalam toko bunga yang ada di sana, beberapa menit kemudian ia kembali dengan beberapa tangkai bunga mawar.

“Istriku pencinta mawar, Anak Muda,” katanya ujuk-ujuk setelah masuk mobil, acak seperti biasa. “Dulu, kalau aku buat salah sama dia, aku selalu beli bunga mawar di toko itu. Tempatku kerja waktu muda dulu persis di samping toko bunga itu,” katanya ketika mobil kami bergerak lagi. Aku hanya menganggukkan kepala mendengar ia bercerita. Ia lalu mengarahkan kami ke salah satu komplek pemakaman, kami turun lalu berjalan menyusuri puluhan pusara di kiri kanan.

Tiba di pusara yang dituju, Om Jam Tangan meraih vas bunga yang ada di atas kepala pusara, mengeluarkan mawar yang akan layu dari vas, kemudian mengganti dengan mawar yang baru ia beli. Setelahnya, ia melipat tangan, lalu berdoa. Selama itu, aku hanya memperhatikannya.

Selesai memanjatkan doa yang tak diucapkan bibir, ia menatapku. “Anak Muda, kau mungkin berpikir aku ini orang tua bejat penggila wanita.” Pria tua itu tersenyum.

“Bang, dulu kelakuanku juga sama.”

Ia tertawa. “Ngomong-ngomong soal wanita yang kau temui kemarin. Dia itu nggak seperti wanita-wanita yang dulu biasa kupanggil ke hotel. Dia janda dan punya pekerjaan mapan. Aku nggak tahu kenapa dia ingin aku menikahinya. Katanya dia jatuh cinta padaku. Awalnya kuanggap angin lalu, tapi lama-kelamaan sepertinya dia serius. Aku bingung, Anak Muda. Apa yang dia lihat dari manula bau tanah macam aku ini.”

“Tolong jangan tersinggung, Bang. Mungkin harta.”

“Kupikir juga begitu. Aku ini orang tua, bukan orang bodoh, apalagi aku ini orang hukum. Aku sempat gertak dia untuk tandatangani surat perjanjian pra-nikah, kau tahulah.”

“Terus?”

“Dia mau.” Pria itu mengembuskan satu napas berat. “Dia berkali-kali bilang bahwa yang dia cari bukan harta. Katanya dia nggak kekurangan harta. Aku percaya kata-katanya setelah aku diajak ketemu anak-anaknya dan lihat rumahnya. Dia orang mampu.”

Kami diam, pria tua itu termenung memandang kepala pusara istrinya. “Aku sangat mencintai istriku ini,” ia berkata sambil memegang kepala pusara. “Aku belum, dan nggak akan pernah mencintai wanita, selain nyonya di rumahku. Kau tahu? Selama bersama istriku, aku nggak pernah satu kali pun berkhianat. Selama bertahun-tahun dia sakit kemudian meninggal, aku nggak pernah main mata di luar rumah. Aku takut dia sakit hati. Kau mungkin berpikir aku ini munafik, tapi aku yakin, perbuatanku setelah istriku pergi tak akan menyakiti hatinya. Selama dia sakit dan tak bisa melayaniku, dia pernah minta aku menikah lagi, tapi aku nggak mau. Waktu dia meninggal, sebelum napas terakhirnya, dia sempat bilang, ‘Terima kasih sudah merawat mami selama ini. Papi sudah berkorban banyak, kalau Papi mau menikah lagi, terserah, mami bahagia di surga kalau Papi bahagia di sini.’”

Aku tak tahu harus menjawab apa saat itu. Angin pekuburan dan terik matahari yang tiba-tiba muncul membuat suasana siang itu entah mengapa membuatku sedih. Kesedihan yang paling tak nyaman adalah ketika berkeringat, ketika matahari yang membakar bumi kontras dengan dingin perasaanmu.

Tak berapa lama, Om Jam Tangan mengajakku pulang. Di jalan setapak menuju mobil, ia bertanya lagi, “Anak Muda, menurutmu, apa aku ini masih pantas untuk kawin?”

Aku menghentikan langkah, lalu menatap pria tua itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tubuhnya masih gagah, rahangnya menonjol, mungkin karena ia seorang pekerja keras, suka bergaul dengan pemuda-pemudi dan pemegang sabuk hitam karate. Ia selalu ogah dipuji, tapi Om Jam Tangan memang terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usianya. “Pantas-pantas saja kalau Abang mau,” kataku.

“Sayangnya aku nggak mau ranjang istriku di rumah ditiduri wanita lain.”

Kami lanjut berjalan bersisian menuju tempat mobil diparkir.

“Setidaknya aku telah memenuhi janji untuk membawamu menemui istriku, Anak Muda. Kau senang?”

“Senang, Bang. Aku bangga sama Abang.”

“Jangan menjilat kau.” Ia tertawa. “Anak Muda, aku bawa kau ke sini bukan agar kau bangga padaku. Kau ini sudah kuanggap seperti anakku, aku ingin kau bahagia sama hidupmu. Dulu, waktu kau ketemu Aina dan memutuskan untuk berhenti menemaniku singgah dari satu hotel ke hotel lain, sebagai orang tuamu, aku senang. Barangkali ini klise, tapi setelah aku sudah hidup enam dekade, tidur dengan puluhan bahkan ratusan wanita, aku berkesimpulan bahwa seranjang dengan banyak wanita yang nggak kau cinta itu pada akhirnya hambar rasanya. Tapi seranjang dengan satu wanita yang kau cinta, rasanya luar biasa. Aku gonta-ganti teman kamar cuma karena aku butuh teman cerita, bahkan banyak yang nggak ku-‘pakai’. Aku bayar wanita-wanita itu untuk ada di kamarku, tujuannya cuma sebagai kawan bicara. Kalau enak diajak bicara baru aku tiduri.”

Kami tertawa sebentar lalu terus menyusuri setapak yang diapit pusara berbagai bentuk, melempar senyum bila berpapasan dengan manusia, hingga kembali berada di dalam mobil. “Abang belum bosan gonta-ganti cewek?” Kataku saat sedang memundurkan mobil.

“Aku sudah selesai dengan hidup, Anak Muda. Anak-anakku makmur dengan hidup mereka, aku sudah punya cucu yang lucu-lucu, anakku yang paling kecil akan menikah sebentar lagi, jadi tanggung jawabku sudah selesai. Kalau misalnya sekarang ini kita kecelakaan terus malaikat pencabut nyawa memberi pilihan siapa yang harus mati. Aku akan dengan rela mengajukan diri.” Ia tertawa.

Aku tertawa. “Jangan dululah, Bang, tunggu sampai pesta kawin anak Abang dulu. Nanti aku yang undang malaikat pencabut nyawa kalau Abang mau.”

Ia tertawa.

Aku menatapnya, kerutan di wajah orang tua itu terlihat jelas sekali saat ia senyum atau tertawa.

Selama beberapa menit ia tertawa lepas, “Kalaupun aku mati hari ini, pernikahan anakku harus tetap dilaksanakan. Aku yakin, semua anakku sudah bahagia dengan hidup mereka, aku nggak mau merusak kebahagiaan mereka cuma karena kematianku.”

Kami diam sejenak.

“Anak muda, aku sekarang ini cuma ingin menikmati hidup. Kalau pertanyaanmu tadi kenapa aku masih suka ditemani tidur gadis-gadis muda, sebenarnya aku nggak tahu harus jawab apa. Mungkin iseng atau mungkin karena aku ini orang tua kesepian. Dan mungkin itu jawabannya, hanya orang kesepian yang gonta-ganti kawan ranjang.”

Aku mengangguk, mataku terus memperhatikan jalan.

“Anak muda, kalau kau pikir aku ini haus seks, kau salah. Ya, kadang-kadang gadis-gadis muda itu merangsangku tapi napsuku sekarang nggak sebesar saat seusiamu. Aku ini sudah hidup lebih dari tiga puluh tahun sebelum kau lahir, pengalamanku lebih banyak, mungkin wanita yang kutiduri jumlahnya lebih banyak dari kau. Dan kau tahu, setelah semua itu, apa kesimpulanku?”

Aku tak menjawab, hanya menggeleng agar pria tua penuh kebijaksanaan itu terus bicara.

“Seperti yang kukatakan tadi, seks tanpa cinta itu nggak ada artinya, hambar. Aku berhubungan seks dengan beberapa wanita itu sebagai binatang, sebatas desahan tanpa arti dan kenikmatan yang tak lebih dari satu menit. Tapi saat bersama istriku, kami berhubungan seks sebagai manusia, setiap desahan istriku adalah kebanggaanku sebagai pria, ada kenikmatan yang nggak bisa aku bilang. Malam waktu dia kuperawani, rasanya seperti baru terjadi minggu lalu.” Om Jam Tangan lalu menceritakan malam pertama bersama istrinya: pakaian yang mereka gunakan—istrinya pakai daster tipis warna merah, apa yang mereka bicarakan, setiap sentuhan istrinya, dan berbagai macam hal yang terlalu intim untuk diceritakan.

Awalnya aku agak terkejut. Sejak aku memutuskan ‘bertobat’, ia tak pernah lagi membicarakan hal-hal demikian. Ditambah, itu pertama kalinya ia menguraikan malam pertama bersama istrinya, dan tanpa canggung pula. “Kau sendiri bagaimana?” Ia bertanya setelah bicara panjang lebar. 

“Bagaimana apanya, Bang?”

Lihat selengkapnya