Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #54

Pemakaman

TIBA DI RUMAH duka, aku langsung menuju peti mati Om Jam Tangan dan menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh, hati besarku berkata: “Terima kasih banyak untuk semuanya, Bang. Terima kasih untuk pelajaran hidup kemarin siang, terima kasih untuk kehormatannya, terima kasih telah menetapi janji sebelum Abang pergi. Selamat jalan, Bang.” Sementara hati kecilku berkata: “Maaf aku belum sempat penuhi harapan Abang untuk membawa Aina ke pemakaman Abang sebagai istriku. Aku nggak bisa perjuangkan Aina, Bang.” Setelahnya, aku mengambil tanggung jawab untuk mengurus segala keperluan pemakaman kawanku itu.

Aku sangat terpukul hari itu, rasa-rasanya aku kehilangan seorang kawan, kakak, dan ayah sekaligus, aku ingin sekali menangis, mataku terus berkaca-kaca, tapi orang tua keparat itu pernah berkata, “Anak Muda, kalau bisa jangan pernah menangis di depan siapa pun selain ibumu atau istrimu nanti.” Kata-kata itu terpatri di kepalaku. Lebih-lebih, aku merasa bahwa kematian memang diinginkan oleh pria tua itu.

Sepanjang hari, melihat orang-orang menangis untuk almarhum, kesedihanku semakin menjadi. Dan yang kubayangkan di kepalaku hanya Aina. Sempat beberapa kali aku menatap layar ponsel dan mengetik:


·        Mbak, Abang meninggal. ... (hapus).

·        Mbak, Abang meninggal. Aku mau ‘ngobrol. ... (hapus).

Lihat selengkapnya