SETELAH UPACARA PEMAKAMAN usai dan kami telah berada di mobil, tanpa tedeng aling-aling, kupeluk Aina, wajahku terbenam pada bahunya, dan menutup mata. Aku tak bicara, takut air mataku berceceran. Aku melakukannya begitu saja.
“Ikhlasin, Mas. Abang ‘udah tenang.” Aina yang malah bercucuran air mata. Seterusnya, sambil menangis, Aina menenangkanku tanpa berkata-kata, kepalaku terus dielusnya, aku yang dikelonin saat itu. Dan aku sangat lega.
“Aku mau ‘nangis, Mbak, tapi aku takut nggak boleh sama Abang,” kataku, ‘melas.
Aina yang sedang sesenggukkan, berkata, “Biar aku wakilin kamu, Mas.” Aina tak ‘maksud bercanda, air matanya terus keluar, tapi aku tertawa. Tingkah-tingkahnya selalu membahagiakanku.
“Kamu kenapa ketawa?” Napasnya patah-patah karena sesenggukan.
“Makasih, ya, Mbak.” Kukeluarkan kepalaku dari bahunya, mencium pipinya, lalu tersenyum dan membantunya menyeka wajahnya. Saat menatapnya sangat dekat, aku baru sadar wajah pucat Aina dan cahaya matanya yang berbeda, dan itu bukan karena tangisannya. “Kamu lagi sakit, Mbak?”
“Aku dua hari ini cuma tidur dua jam.”
“Terus habis dari rumah duka kamu masih harus ke rumah sakit lagi?”
Aina menggeleng. “Aku janji ketemu mama.”
“Untuk?”
“Mas, nanti aja ya aku cerita, aku mau tidur ‘bentar. Sekarang kita ke rumah duka ketemu mama, katanya mama mau minta tolong sama aku.” Meski kantung matanya tebal, Aina bercerita dengan riang dan menggebu.
“Nggak! Sekarang kamu pulang! Terus tidur di rumah, bukan di mobil.” Reaksiku sebaliknya, kesal dan marah.
Mungkin tak menyangka reaksiku begitu, Aina terdiam beberapa saat. “Mas—.”Sebelum Aina memaksa, segera kupotong. “Aina, kamu tahu kan, aku nggak suka dibantah hal-hal kayak gini!”
Sampai mobil berada di jalan raya, Aina bungkam. Sekian menit kemudian, baru Aina berkata dengan sangat hati-hati. “Mas, aku bukannya bantah kamu, aku udah janji sama mama dan besok aku nggak bisa.” Suaranya terdengar sangat memelas.
“Aina, kita baru ketemu, aku nggak mau berantem. Kamu sekarang pulang, tidur! Nanti aku yang bicara sama mama. Lagian, kamu dokter, kan? Kamu harusnya tahu akibat orang kurang tidur. Kamu juga yang sering cerewet soal kesehatan aku, tapi kamu sendiri seenaknya.”
“Mas, tapi, aku—.”
“Aku bilang sekali, sekali, ya, Nana! Aku nggak suka ngomong dua kali! Dan kamu diam! Jangan ngomong dulu!”