Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

E. N. Mahera
Chapter #57

Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

DEKAT MALAM, AKU terpaksa kembali lagi ke apartemen. Sejak dulu, aku terus mengajari Aina dan menjadi contoh untuknya tentang disiplin waktu dan janji temu yang harus ditepati.

Di ambang pintu apartemen, lagi-lagi aroma itu menusuk hidungku. Semua lampu sedang dipadamkan, tapi dengan bantuan cahaya dari televisi yang menyala, aku dapat melihat seisi ruangan. Dari tempatku berdiri, tampak Aina terbaring di sofa. Sementara itu, televisi sedang memutar sitkom Big Bang Theory tanpa ada yang menonton, Aina ketiduran saat menonton sitkom andalannya. Saat-saat itu Aina memang sedang menonton ulang beberapa episodenya karena sitkom tersebut akan berakhir, ‘napak tilas’ katanya. Aku sendiri tak pernah serius mengikuti sitkom itu, terlalu panjang bila disaksikan ulang dari awal.

Setelah puas tersenyum di muka pintu, aku beranjak menghidupkan lampu utama dan mematikan televisi, lalu mendekati sofa untuk memandangi wajah Aina dan perutnya yang kembang kempis, saat itu muncul rasa takut yang asing; ketakutan itu persis sama saat aku masih bocah dan menatap mama yang terbaring dengan mata terpejam. Aku takut mama berhenti bernapas dalam tidurnya, dan aku–seorang bocah–kadang berdoa, “Tuhan, tolong panjangkan umur mama, kalau bisa selama-lamanya.”

Puas memandangi Aina, aku lalu menuju tirai coklat yang menutupi jendela kaca untuk mengintip pemandangan di luar. Tampak langit berwarna jingga, aku membencinya. Dari lantai sepuluh itu juga terlihat ratusan kendaraan di bawah sana mengular sampai jauh, beberapa gedung bertingkat di sekitar, dan puluhan pohon yang berdiri tak beraturan di sisi jalan raya. Dan aku teringat puisi tak berjudul yang terselip di dalam jurnal milik Aina. Kudekati rak buku, menarik keluar jurnal itu, dan membaca ulang apa yang kutulis. Ada yang kurang. Karenanya, kutambahkan bait terakhir, dan memberi judul puisi itu: Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta.

 

Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta

Jika kematianku untukmu tiba hari ini

dan simfoni penghabisan cerita kita

adalah rintih harapan dua manusia

untuk saling memiliki.

Ingat! Kita punya Jakarta!

Jadikan Dia makam kenangan kita!

 

Jadikan!

Stasiun dan gerbong kereta

angkutan dan bis kota

halte dan lampu kota

papan reklame dan para

pencakar langit yang gagah;

sebagai pusaraku untukmu.

 

Jadikan!

Senja cacat yang meruangi

cakrawala Jakarta

serta langit kelabu

si gapura penyambut malam;

sebagai nisanku untukmu.

 

Senandungkan!

Gema azan

teriakan penjual jajan 

suara-suara kegelisahan

umpatan spontan dan klakson kendaraan

di lampu merah perempatan saat petang;

sebagai simfoni pemakaman.

 

Undang!

jiwa-jiwa yang letih menggapai cita

dan para perantau yang tak lagi ber-asa

agar menemanimu berdiri di samping pusara;

mengantarku menyatu dengan abu waktu.

 

---

 

Maafkan, bila wasiat yang kutinggalkan

Lihat selengkapnya