DEKAT MALAM, AKU terpaksa kembali lagi ke apartemen. Sejak dulu, aku terus mengajari Aina dan menjadi contoh untuknya tentang disiplin waktu dan janji temu yang harus ditepati.
Di ambang pintu apartemen, lagi-lagi aroma itu menusuk hidungku. Semua lampu sedang dipadamkan, tapi dengan bantuan cahaya dari televisi yang menyala, aku dapat melihat seisi ruangan. Dari tempatku berdiri, tampak Aina terbaring di sofa. Sementara itu, televisi sedang memutar sitkom Big Bang Theory tanpa ada yang menonton, Aina ketiduran saat menonton sitkom andalannya. Saat-saat itu Aina memang sedang menonton ulang beberapa episodenya karena sitkom tersebut akan berakhir, ‘napak tilas’ katanya. Aku sendiri tak pernah serius mengikuti sitkom itu, terlalu panjang bila disaksikan ulang dari awal.
Setelah puas tersenyum di muka pintu, aku beranjak menghidupkan lampu utama dan mematikan televisi, lalu mendekati sofa untuk memandangi wajah Aina dan perutnya yang kembang kempis, saat itu muncul rasa takut yang asing; ketakutan itu persis sama saat aku masih bocah dan menatap mama yang terbaring dengan mata terpejam. Aku takut mama berhenti bernapas dalam tidurnya, dan aku–seorang bocah–kadang berdoa, “Tuhan, tolong panjangkan umur mama, kalau bisa selama-lamanya.”
Puas memandangi Aina, aku lalu menuju tirai coklat yang menutupi jendela kaca untuk mengintip pemandangan di luar. Tampak langit berwarna jingga, aku membencinya. Dari lantai sepuluh itu juga terlihat ratusan kendaraan di bawah sana mengular sampai jauh, beberapa gedung bertingkat di sekitar, dan puluhan pohon yang berdiri tak beraturan di sisi jalan raya. Dan aku teringat puisi tak berjudul yang terselip di dalam jurnal milik Aina. Kudekati rak buku, menarik keluar jurnal itu, dan membaca ulang apa yang kutulis. Ada yang kurang. Karenanya, kutambahkan bait terakhir, dan memberi judul puisi itu: Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta.
Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta
Jika kematianku untukmu tiba hari ini
dan simfoni penghabisan cerita kita
adalah rintih harapan dua manusia
untuk saling memiliki.
Ingat! Kita punya Jakarta!
Jadikan Dia makam kenangan kita!
Jadikan!
Stasiun dan gerbong kereta
angkutan dan bis kota
halte dan lampu kota
papan reklame dan para
pencakar langit yang gagah;
sebagai pusaraku untukmu.
Jadikan!
Senja cacat yang meruangi
cakrawala Jakarta
serta langit kelabu
si gapura penyambut malam;
sebagai nisanku untukmu.
Senandungkan!
Gema azan
teriakan penjual jajan
suara-suara kegelisahan
umpatan spontan dan klakson kendaraan
di lampu merah perempatan saat petang;
sebagai simfoni pemakaman.
Undang!
jiwa-jiwa yang letih menggapai cita
dan para perantau yang tak lagi ber-asa
agar menemanimu berdiri di samping pusara;
mengantarku menyatu dengan abu waktu.
---
Maafkan, bila wasiat yang kutinggalkan