“Hidupku tidak seperti kebanyakan orang. Hampir tak ada petualangan mendebarkan, atau peristiwa super seru yang layak diabadikan untuk diingat seumur hidup. Waktuku hanya berputar di antara rutinitas, lalu menghilang dalam imajinasi. Demikianlah hari-hari yang membosankan berlalu, hingga tanpa kusadari tiba-tiba semuanya hilang."
***
Solana tahu ada banyak hal yang bisa ia tatap saat duduk manis di ruang membosankan ini.
Seperti pemandangan di luar jendela yang sangat luar biasa. Pegunungan hijau, hamparan sawah yang dilengkapi dengan langit biru berawan. Percayalah semuanya sangat memesona. Akan tetapi, sekeras apapun keindahan itu menari, berusaha untuk menarik hatinya, matanya tetap tertuju pada seorang wanita berbaju kuning yang duduk tak jauh darinya.
"Baca apaan sih? Dari tadi serius banget," tanya pria yang duduk tepat di samping wanita tersebut. Sebuah pertanyaan yang membuat hati Solana semakin bergejolak. Ia bukan manusia labil yang gemar menguping pembicaraan orang asing, tetapi dalam kasus ini Solana sungguh tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Buku," jawab wanita itu sedikit ketus. Tak heran, tak ada siapapun yang senang bila diganggu saat berkonsentrasi membaca buku kesukaan.
"Iya tahu itu buku, tapi buku apa?" protes Sang Pria.
"Ya novel lah, yang jelas bukan buku resep masakan," jawab perempuan itu sambil menunjukan cover buku di tangannya. Tidak ada gambar makanan lezat di atas piring cantik, melainkan hanya gambar silhouette sepasang kekasih yang berada di tengah hujan.
"Oh, baiklah, novel tentang ...?”
"Romance, chicklit. Pastinya bukan bacaan cowo, kamu ga akan suka."
"Masa? Kamu pesimis banget. Coba cerita, siapa tahu aku juga suka," tanya pria itu sedikit menantang.
Kini wajah wanita berbaju kuning memancarkan sedikit semangat. Matanya berbinar penuh antusias. Bagi seorang introvert penggila buku, tak ada salahnya membicarakan dunia kesukaan pada manusia lain. Berharap menemukan seseorang yang juga bisa menyukai keanehan yang sama dengannya.
"Jadi ceritanya tentang seorang wanita cantik yang dipertemukan dengan pria tampan di kala hujan. Jadi ... karakter wanitanya lucu gitu, tipe kikuk yang lil bit clumsy dan selalu sial. Kalau lelakinya tipe serius jarang senyum, tidak percaya cinta, bahkan pada awalnya terlihat sedikit arogan, suka memaksakan kehendaknya sendiri. Percayalah, chemistry keduanya benar-benar kocak. Awalnya mereka musuhan, tapi lama-lama mereka jadi …. "
"Saling suka, lalu jatuh cinta, ya ya ya, ga beda seperti plot cerita-cerita 'romance' pada umumnya. Enemies to lovers. Kutebak, pasti salah satu dari mereka ada yang punya trauma masa kecil, atau ada punya penyakit mematikan," potong pria itu sebelum teman wanitanya sempat menyelesaikan perkataannya. Lenyap sudah semangat yang tadi berkilat, pudar seketika itu juga.
"Tuh kan, kubilang juga apa. Ini bacaan perempuan, kamu ga akan suka," lanjut sang wanita. Ia menggeleng kesal lalu kembali menatap bukunya.
"Ehm, ehm …." Tenggorokan Solana tiba-tiba gatal. Mudah ketebak? Tidak seharusnya pembicaran dua orang asing membuatnya terganggu, namun nyatanya Solana benar-benar merasa tidak nyaman. Mungkin, sudah saatnya dia berhenti memuaskan nafsu ingin tahunya, tapi sialnya ... perempuan itu tidak kuasa mengakhirinya.
Dinaikkannya kembali kacamata bulat besar yang melorot di hidungnya, matanya sudah lelah akibat berhari-hari menatap layar komputer, tapi sialnya, pandangannya tak bisa lepas dari sana. Entah apa yang dia cari, sepertinya Solana masih menanti rangkaian kata-kata yang mungkin hanya ada sejauh harapan.
"M-maaf," bisik sang pria. " Aku tidak berniat membuatmu kesal. Aku hanya ... penasaran. Kira-kira buku seperti apa yang sejak kereta ini berangkat, membuatmu mengacuhkanku. Mata dan pikiranmu seolah tidak bisa beranjak dari buku itu," protesnya pada Sang Wanita.
Kali ini ucapannya berhasil membuat wanita berbaju kuning menatap wajah pria di sebelah. Bukan seperti yang diharapkan. Bukan tatapan yang manis, lucu, imut, menggemaskan, ataupun yang penuh binar cinta. Bola matanya membulat, sedikit menyipit, bahkan dahinya berkerut seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja masuk dalam telinga.
"Tidak ada satupun pembaca yang tidak terpaku pada novel karya Sunny Ya," jawab wanita itu.
"Hah? Siapa?"
"Sunny Ya, bego!"
"Sun ...? Sunny siapa?"
Perlahan memang, tapi kedua mata Solana sempat melihat gelengkan kepala wanita itu. Senyumnya tersungging layaknya orang kecewa. Wanita itu sungguh terlihat tidak percaya dengan rendahnya pengetahuan Sang Pria.
"Sunny Ya," ulangnya sekali lagi. "Kamu tahu 'Awal di Musim Semi'?"
"Ah, film Indonesia yang ramai di bioskop beberapa bulan yang lalu, kan? Kudengar penontonnya sampai berjuta-juta."