“Rasanya kejadian itu sudah lama terjadi. Saat kaki kecil ini melangkah, menjauh dari masa lalu. Pergi melaju ke depan, tanpa berharap menoleh ke belakang. Saat musim kering tiba, tak ada yang bisa kulakukan selain berdiri di sini lagi. Di titik nihil mengumpulkan semua daya upaya yang tersisa untuk memulai semuanya kembali.”
***
Sejak taxi menurunkannya di sini, Solana hanya bisa terdiam. Perempuan itu mematung, bahkan sudah hampir setengah jam ia berdiri, ia tetap tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Diperbaikinya kacamata yang melorot di hidung, lalu dilihatnya kembali tombol kecil berwarna merah di samping pagar. Perlahan Solana mengangkat kembali jari telunjuk kanan miliknya. Ayolah, ini bukan perkara yang sulit, bahkan anak TK sekalipun sanggup melakukannya. Cukup satu sentuhan, dan semua pergumulan dalam hati akan mereda.
“Ok, Solana, ini mudah! Cukup satu kali sentuhan, tidak perlu banyak-banyak, cukup satu kali saja,” bisiknya untuk menyemangati diri sendiri.
Perempuan itu tahu, jari telunjuknya sanggup membuat perubahan walau hanya sedikit. Solana menarik nafas dalam-dalam, ia butuh banyak udara segar untuk mengumpulkan semua keberanian.
Ok, baiklah, ini saatnya!
Didekatkannya telunjuknya kembali tepat di tombol itu. Perkara ini mudah, hanya saja, setiap kali jemarinya sudah siap menekan, otaknya selalu memberi perintah-perintah menyebalkan.
Oh, Solana, apa yang kamu pikirkan? Jangan tekan bel itu! Tidakkah kamu ingat apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu? Lagipula, belum tentu di dalam ada orang? Lalu jika ada, dia tidak akan membukakan pintu? Namun yang paling parah, pertanyaan seperti bagaimana jika orang itu mengusirmu dari sini? Semua kata-kata negatif berputar-putar dalam pikiran perempuan malang itu. Prasangka mengganggu yang hanya terlintas tanpa jawaban pasti.
“Sialan!” bisik Solana frustasi. Tangannya mengepal, sejalan dengan hatinya mulai kesal. Ingin sekali ia menumpahkan ketidak beruntungannya pada kenyataan, namun nyatanya tak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.
Andai saja Solana bisa mengacuhkan apa yang telah terjadi, maka ia tidak perlu menghabiskan waktu untuk berdiri di depan rumah kecil itu. Andai Solana bisa menghancurkan pikiran-pikiran buruk, dan melupakan kejadian masa lalu, maka ia tidak perlu menyia-nyiakan waktunya, hanya untuk memandangi tombol bell kecil di samping pagar warna biru.
“Ah, sudahlah!” bisik perempuan itu menyerah.
Dilihatnya lagi rumah mungil itu lekat-lekat. Rasanya benar-benar rindu. Tidak banyak berubah, semuanya masih sama dengan yang ada dalam ingatan. Rupanya, bentuknya, bahkan hingga ayunan kecil yang tergantung sempurna pada dahan pohon mangga di pekarangan depan. Semua tetap sama, walaupun cat dan warnanya terlihat lebih lusuh sejak terakhir Solana meninggalkannya.
Solana menarik nafas dalam-dalam, membiarkan memorinya masuk dalam nostalgia lama. Matanya seolah melihat bayangan gadis kecil yang sering menghabiskan waktu duduk ayunan sambil membawa buku favoritnya. Tangan mungilnya akan menulis, mengabadikan setiap imajinasi yang muncul dari kepala.