“Aku pulang! Akhirnya, setelah bertahun-tahun merantau, aku kembali lagi. Tempat paling hangat untuk seorang anak perempuan, sialnya kini rasanya sungguh berbeda. Di tempat yang dulu kupanggil dengan sebutan ‘rumah’, kini membuatku merasa seperti orang asing. Ya, aku adalah alien yang pergi terlalu jauh, hingga tidak punya jalan untuk kembali.”
***
Tidak ada yang menyangka Solana bisa menatapnya lagi. Satu set kursi dan meja antik yang di ruang tamu, meja kecil berisi foto-foto keluarga, rak sepatu, hingga lemari dari kayu jati yang menyimpan koleksi buku milik ayahnya. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya, namun selain barang-barang itu, semua yang ada di rumah ini telah berubah.
Tidak ada lagi televisi tabung tempat Si Meong tidur dan bermalas-malasan, kini sudah berganti dengan TV digital yang tergantung di tembok. Juga sofa coklat butut tempatnya bersandar sepulang sekolah, telah berubah menjadi sofa abu-abu modern keluaran pabrik furniture ala Swedia. Dapur? Apalagi! Sudah pasti keran bocor yang selalu disumpal lap itu sudah tidak lagi ada di sana.
Tapi, yang membuat Solana merasa tempat ini berbeda, bukanlah hal-hal kecil semacam itu, melainkan hal sangat yang fundamental mengenai kebersihan. Tanpa ayahnya yang rajin bersih-bersih, maka rumah ini berubah menjadi tempat pembuangan sampah.
Baju kotor berserakan dimana-mana, debu, sampah, belum lagi peralatan makan yang tercecer dan belum sempat dicuci. Baunya? Ha, silahkan bayangkan sendiri aromanya seperti apa. Di atas meja, Solana bisa melihat bungkusan sisa mie instan yang isinya mungkin sudah mengering, bahkan berjamur.
“Solana, apa yang ….”
“Tidakkah kamu bisa bertanggung jawab? Sedikit saja, Luna. Kamu punya anak kecil dan … tempat tinggal macam apa ini?” protes Solana pada kakaknya.
Jujur, sesungguhnya dalam hati Solana ingin menahan mulutnya. Ia tahu cara bertata krama, dan apa yang baru saja dikatakannya jauh dari kata sopan. Akan tetapi, Solana tidak bisa diam saja, saat melihat rumah masa kecilnya yang cantik dan asri berubah menjadi tempat pembuangan sampah.
“Wow, kamu tidak jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengataiku, bukan? Memberi ceramah panjang hingga membuat kepalaku pening. Jika itu tujuanmu, maka silahkan pergi, aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu,” jawab Luna dengan nada menyebalkan.
Solana menarik nafas dalam-dalam. Baiklah, ini bukan perkara menang kalah, tapi siapa yang lebih bisa menahan emosi. Kata ayahnya, yang waras harus ngalah, dan untuk kali ini Solana setuju.
“Kenapa? Kenapa kamu diam? Kenapa kamu tidak pergi? Kamu tahu pintunya ada di mana, dan kali ini aku tidak akan menahanmu seperti 5 tahun yang lalu. Silahkan saja, lakukan sesuka hatimu,” lanjut Laluna mempertanyakan sikap adiknya.
“Luna, aku ….”
Ini dia, momen tersulit bagi Solana. Lihat saja, bagaimana wanita itu menelan ludahnya sendiri. Gelar sebagai penulis terkenal yang pandai merangkai kata sungguh tidak bisa membantu apa-apa. Ini pertaruhan gengsinya sendiri, dan untuk kali ini Solana berharap kakaknya tidak membalas ucapannya dengan sarkasme yang mempermalukannya lebih lagi.
“A-aku …, kumohon izinkan aku tinggal di rumah ini untuk beberapa hari saja,” pinta Solana merendahkan hati.
Tanpa terasa matanya mulai menutup rapat, saat menanti jawaban dari Laluna. Masih ingat di kepala, ucapan terakhir yang ia teriakkan di depan wajah kakaknya saat meninggalkan rumah ini 5 tahun yang lalu.
“Aku tidak akan kembali! Aku tidak akan kembali ke neraka ini lagi!”
Kumpulan kata-kata menyebalkan yang tak mungkin Solana lupakan, dan sepertinya Laluna juga.