“Aku punya rencana! List penting ‘what to do’ di hari pertama tidur di rumah ini lagi. Bangun pukul enam pagi hari, olahraga sebentar, jalan santai, menikmati udara segar Kota Bandung sambil mencari inspirasi. Setelah itu aku akan memesan semua makanan lezat yang sudah kurindukan. Hmmm, membayangkannya saja sudah membuat perutku bergetar. Lalu tentu saja, sambil menyeruput teh mint hangat, aku akan mengisi layar putih dengan kisah paripurna. Yup, rencana sempurna ala Solana!”
***
“Sialan!”
Hanya itu yang ada dalam otak Solana, saat matanya terbuka di pagi hari. Dengan sayu ia menatap cahaya mentari yang sudah tinggi, dan perempuan itu sadar, rencana sempurnanya gatot alias gagal total.
“Hahaha, terlambat sudah!” bisiknya pasrah saat jam di handphone menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh tiga. Sialnya lagi, Solana tidak kesiangan karena bermimpi indah, melainkan lebih ke arah sebaliknya. Ia terlambat bangun karena semalaman tidak bisa memejamkan mata.
Mau bagaimana lagi? Ini memang kamar tidurnya. Ruangan yang menjadi saksi hidupnya sejak kecil. Tidak ada yang berubah, bahkan kakaknya yang galak sekalipun tak berani menyentuh barang-barangnya, hanya saja kamar ini sungguh tidak nyaman untuk ditinggali.
Sprei sudah diganti dengan kain baru, tapi debu di sekitar masih menumpuk tebal. Sarang laba-laba bertebaran dimana-mana, ditambah lagi bau lembab yang susah hilang walaupun jendela sudah dibuka sejak semalam. Jangan tanya, berapa kali Solana harus terbangun karena bersin, belum lagi rasa gatal yang tak tertahan, bercampur dengan suara nyamuk yang rutin berdenging setiap 10 menit sekali.
“Ya, sudahlah!” sahut wanita itu pasrah. Ia tidak mau mengawali hari dengan umpatan, lagipula ada yang lebih penting untuk dilakukan, selain menjalankan rencana sempurnanya.
Solana segera mengambil kacamata besar miliknya lalu menaruhnya di hidung. Ia menatap kamarnya yang lebih serupa dengan gudang daripada ruangan seorang gadis. Agendanya berubah, hari ini tidak ada karya, karena ia harus bersih-bersih.
Perempuan itu segera beranjak dari kamar, berencana mengambil kain lap dan sapu di dapur. Langkahnya mantap, hingga tiba-tiba terhenti di depan meja makan. Matanya tertuju pada sebuah kunci dengan notes kecil yang ada di sana.
“Aku kerja, Sky sekolah. Tidak ada siapa-siapa di rumah selain kamu. Ini kunci duplikat, jangan lupa kunci rumah kalau kamu pergi!”
Ckckck, Laluna, Laluna, tulisan tangannya saja sudah bergema layaknya perintah. Pikiran Solana bisa membayangkan raut wajah dan suara kakaknya saat dia membacanya. Tapi, tunggu ….
“Luna? Kerja? Kerja apa?” pikiran Solana berbisik jahil. Terakhir kali saat Solana pergi meninggalkan rumah ini, kakaknya murni pengangguran sejati. Jujur, ada rasa penasaran yang tumbuh dalam hati perempuan itu. Kira-kira pekerjaan apa yang dilakoni kakaknya yang galak itu?
“Preman? Penagih hutang? Ah, sudahlah!” bisik Solana untuk menenangkan pikirannya sebelum menjelajah kemana-mana. Tiba-tiba teringat peraturan yang telah disepakati bersama, lagipula untuk apa mengurusi urusan orang? Bukankah urusannya sendiri sudah cukup pelik? Bagi Solana, teror Mbak Cindy Editor jauh lebih menyeramkan dari apapun juga.
Solana berjalan ke dapur, mengambil bekal yang dibelinya dari stasiun kemarin. Ditelannya roti berisi coklat itu, bersamaan dengan segelas teh hangat. Manis dan nyaman, sayangnya tidak ada waktu untuk bersantai, pekerjaan hari ini sudah menunggu untuk dikerjakan.
Dimulai dari hal sederhana, menyapu, mengepel, membersihkan sarang laba-laba yang menempel di plafon, lalu Solana mulai mengelap semua furniture yang ada di kamarnya. Mulai dari jendela, bagian dalam lemari, nakas di sebelah ranjang, rak buku kecil yang berisi buku-buku bacaannya.
Tangannya sungguh gesit dan terampil, mengingat ia adalah produk dari ideologi seorang ayah yang gemar bersih-bersih. Obsessive Compulsive Disorder, itulah kata yang tepat bagi Solana untuk menjelaskan sifat ayahnya. Memang bukan resmi diagnosis psikolog, tapi semua ciri manusia pengidap OCD ringan melekat pada ayahnya.
Tak butuh waktu lama, kamar tidurnya kembali ceria. Warna yang dulu ada dalam ingatan, sudah kembali walau belum sempurna. Solana memang baru membersihkan permukaannya saja, tapi setidaknya layak untuk ditinggali.
Solana mengusap peluhnya, tak bisa dipungkiri bersih-bersih adalah kegiatan melelahkan. Ia segera membereskan peralatan, berencana mencucinya di dapur. Sialnya langkahnya kembali terhenti saat melihat kondisi rumahnya. Mungkin acara bersih-bersih hari ini tidak harus berhenti di kamarnya saja.
Solana segera mengambil kantung plastik besar dan memunguti semua sampah yang ada di sana. Hatinya masih dongkol dengan rendahnya standar kebersihan kakaknya.
“Ckckckck Luna, Luna, kapan dia bisa berubah?” bisik Solana apatis. Sejak dahulu Laluna memang paling malas jika disuruh bersih-bersih, tapi ia tidak menyangka jika kakaknya sanggup tinggal di rumah sejorok ini.